SEPERTI halnya warga negeri ini saat merayakan hari ulang tahun kemerdekaan negara setiap 17 Agustus, warga di Pulau Lirang itu juga memasang bendera merah putih di depan rumahnya. Yang berbeda adalah rumah warga itu sungguh sangat sederhana.
Dinding rumah terbuat dari bambu, beratap seng, tanpa jendela, hanya pintu yang agaknya selalu terbuka pada siang hari.
Rumah itu berada di perbukitan yang gersang, kering dan panas. Namun bendera merah putih berkibar dengan tegak di halaman rumah itu.
Itu adalah tipikal rumah-rumah warga di Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya, salah satu pulau terluar di perbatasan dengan negara Timor Leste.
Ketika berkunjung ke Pulau Wetar yang tidak jauh dari Pulau Lirang, sekian puluh tahun yang lalu, saya juga melihat pemandangan yang sama.
Terkesan kemajuan ekonomi nasional yang cukup tinggi selama ini tidak menyentuh wilayah itu, walaupun upaya pembangunan daerah terluar, tertinggal dan terpencil sudah menjadi program pemerintah sejak lama.
Ketertinggalan daerah Pulau Lirang juga terwujud dalam pelayanan kesehatan yang rendah. Walaupun ada Puskesmas Ustutun, penduduk Pulau Lirang masih harus pergi ke pulau lain untuk berobat manakala menderita penyakit yang agak serius.
Kompas (24/8/2022) mengulas derita seorang ibu, Martha Manuputty (25), yang merasakan keanehan pada janin yang dikandungnya.
Karena peralatan medis tidak tersedia di Puskesmas Ustutun di desanya, ia dibawa ke RSUD Moa di ibu kota kabupaten, didampingi dua orang perawat, dengan menumpang kapal perintis Sabuk Nusantara 67 jurusan Kupang-Ambon.
Namun RSUD Moa juga tidak sanggup menangani kasus yang diderita Martha karena keterbatasan peralatan.
Maka ia pun dibawa ke Kupang, dengan menumpang kapal Sabuk Nusantara 87 jurusan Ambon-Kupang, setelah menunggu beberapa hari.
Martha segera mendapat pelayanan medis di RSUD Kupang. Jiwanya pun tertolong, namun bayi dalam kandungannya sudah tidak bernapas sejak masih di Lirang.
Tercatat hampir seminggu sejak pergi ke Puskesmas, Martha baru mendapat pelayanan, setelah melalui perjalanan laut yang tentu menguras tenaganya.
Beruntung tiket kapal cukup murah karena disubsidi negara dan ia pun tidak membayar biaya pengobatan.
Sebelumnya, selain ke Moa, Ambon atau Kupang untuk berobat, warga Pulau Lirang biasa pergi ke Dili, Timor Leste.