Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lokananta, Lorong Waktu Sejarah Musik Indonesia, Masih Simpan Suara Asli Soekarno

Kompas.com - 27/08/2022, 06:46 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Perkembangan musik di tanah air tak lepas dari satu nama, Lokananta. Studio musin tersebut berada di Jl Ahmad Yani nomor 379, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah.

Berdiri di atas lahan seluas 21.150 meter persegi, Lokananta didirikan pada 29 Oktober 1956 oleh Raden Maladi, Kepala Jawatan Radio Republik Indonesia (RRI), bersama Oetojo Soemowidjojo dan Raden Ngabehi Soegoto Soerjodipoero.

Saat ini ada sekitar 53.000 keping piringan hitam dan 5.670 master rekaman bersejarah tersimpan di Lokananta.

Termasuk, suara asli Soekarno saat membacakan teks Proklamasi.

Baca juga: Revitalisasi Lokananta Solo, Ganjar dan Gibran Kompak Hidupkan Destinasi Wisata Baru

Arti lokananta

Dalam bahasa Sansekerta, lokananta berarti gamelan dari khayangan yang bersuara merdu.

Sementara Lokananta  di Surakarta dibangun pertama kali untuk merekam materi siaran dalam bentuk piringan hitam untuk disiarkan oleh 26 stasiun RRI di seluruh Indonesia.

Menurut Gading Pramu Wijaya, pada 1958, dalam Lokananta Arsip Sejarah Musik Indonesia, pihak RRI mulai menjual produksi piringan hitam yang berupa lagu-lagu daerah kepada masyarakat umum dengan merek dagang Lokananta.

Koleksinya seperti, musik gamelan dari Jawa, Bali, Sunda, musik Batak, juga lagu-lagu rakyat (folklore) yang tidak pernah diketahui siapa penciptanya.

Kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 215 tahun 1961, Studio Lokananta diubah statusnya menjadi perusahaan negara dengan nama baru PN Lokananta.

Bidang usahanya pun diperluas menjadi label rekaman yang berfokus pada karya lagu daerah dan pertunjukan seni serta penerbitan buku dan majalah.

Lagu Rasa Sayange untuk cendera mata Asian Games 1962

Dari mulai Waldjinah, Titiek Puspa, hingga rekaman suara Pidato Bung Karno tersimpan di ruangan khusus piringan hitam, Lokananta, Solo, Jawa Tengah.Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Dari mulai Waldjinah, Titiek Puspa, hingga rekaman suara Pidato Bung Karno tersimpan di ruangan khusus piringan hitam, Lokananta, Solo, Jawa Tengah.
Rekaman untuk para musisi di tanah air mulai dilakukan ketika Indonesia menjadi penyelenggara Asian Games ke-IV, pada 15 Agustus 1962.

Saat itu sejumlah lagu daerah seperti Rasa Sayange dinyanyikan musisi lokal dan direkam dalam piringan hitam lalu dibagikan sebagai cendera mata kepada kontingen peserta Asian Games 1962.

Selepas itu, Lokananta mulai memberanikan diri memproduksi piringan hitam dari musisi terkenal, seperti Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, Sam Saimun, dan maestro jazz Buby Chen.

Waldjinah tercatat sebagai musisi pertama yang merekam suaranya di Lokananta pada 1959.

Baca juga: Monumen Didi Kempot di Lokananta, Wali Kota Solo: Perlu Koordinasi Lebih Lanjut

Saat itu ia membawakan lagu Kembang Katjang karya Gesang Martohartono alias Gesang, sang legendaris, pencipta Bengawan Solo.

Lokananta juga ikut merekam Bengawan Solo dan beberapa ciptaan Gesang, lainnya seperti Jembatan Merah dan Sapu Tangan.

Saat rekaman pertama kali, Waldjinah yang baru berusia 12 tahun dengan postur mungilnya tak mampu menjangkau letak corong mikrofon.

Alhasil, penyanyi yang kemudian dikenal sebagai Ratu Keroncong dengan 1.700 karya lagu keroncong itu terpaksa dinaikkan ke bangku kayu kecil atau dingklik.

Upaya itu dilakukan agar posisi mulut bocah bersuara emas itu pas dengan corong mikrofon.

Rekaman perdana di Lokananta itu sebagai hadiah yang ia terima setelah memenangkan kontes menyanyi "Ratu Kembang Katjang".

Baca juga: Kalau Kamu Tertarik soal Musik, Ini 5 Fakta tentang Lokananta di Solo

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com