Wira Sambo tiba dan tinggal bersama istrinya bernama Dewi Sekar Kenanga.
Nama sang Istri juga diabadikan menjadi nama Dusun Kenanga (dibaca Kenongo-red) yang terletak tidak jauh dari Dusun Sambo.
Wira Sambo atau Kiai Wikono dan istrinya kemudian melahirkan keturunan-keturunan yang kini masih banyak yang tinggal di Dusun Sambo dan sekitarnya.
Masyarakat sampai sekarang masih menggelar tradisi-tradisi untuk mengormati leluhur, termasuk Kiai Wikono.
Di antaranya, tradisi Nyadran yang digelar setiap tanggal 10 bulan Ruwah dalam kalender Islam.
Pada saat Nyadran itu, seluruh masyarakat berkumpul untuk menggelar doa bersama untuk leluhur.
Beberapa warga juga melakukan ziarah ke makam Kiai Wikono yang ada di pemakaman dusun.
"Sebagian besar warga di sini adalah keturuan Kiai Wikono, ada juga yang tinggal di luar dusun, tapi kalau Nyadran kami semua berkumpul, berdoa bersama dan menggelar tradisi-tradisi. Warga yang ikut Nyadran bisa sampai 600-700-an orang," terang Kuwato yang merupakan keturuan ke-8 Kiai Wikono.
Baca juga: Cerita Ketua RT yang Ikut Timsus Bareskrim Periksa Rumah Sambo di Magelang
Kuwato menyebutkan, Dusun Sambo dihuni sekitar 100 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah penduduk 289 jiwa.
Sebagian besar masyarakat adalah petani dan pedagang, hampir tidak ada warga yang berprofesi sebagai pegawai maupun aparat negara.
Walapun demikian, masyarakat sangat menjunjung nilai toleransi dan gemar bergotong-royong. Tingkat pendidikannya juga beragam dari SD hingga perguruan tinggi.