Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Sigit, Dalang Asal Kendal yang Main di Swiss dan Jerman, Pernah Lupa Bawa Wayang Rahwana

Kompas.com - 22/08/2022, 13:43 WIB
Slamet Priyatin,
Ardi Priyatno Utomo

Tim Redaksi

KENDAL, KOMPAS.com - Nama Sigit Susanto, pria asal Bebengan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, ramai dibicarakan di media dan para seniman setelah menjadi dalang di Swiss dan Jerman.

Lelaki kelahiran 21 Juni 1963 yang kini tinggal di kota Zug, Swiss, sejak April 1996 setelah menikah dengan Claudia Beck tersebut mendalang dengan bahasa Jerman.

Sigit, lulusan Akademi Bahasa Asing (Akaba) 1945 Semarang, sebelum dikenal sebagai dalang, dirinya adalah seorang penulis.

Baca juga: Karakter Ikonik di Pop Art Jakarta 2022! Dalang Pelo hingga Gatotkaca

Beberapa karyanya yang telah terbit, Sosialisme di Kuba (2004), Novel Pegadaian (2004), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia 1 (2005), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia II (2008), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia III (2012), dan Kesetrum Cinta (2016).

Lalu, bagaimana Sigit, yang juga pendiri dan moderator Apresiasi–Sastra (APSAS) di internet sejak 2005, salah satu pendiri Komunitas Lereng Medini (KLM) di Boja, Kendal, pendiri dan pemilik perpustakaan Pondok Maos Guyub di Boja Kendal, dan koordinator Jemuran Puisi (Gedicht Pflücken) di pinggir danau Zug setiap musim panas sejak 2011 itu bisa menjadi dalang?

Sigit menceritakan, semua berawal 9 tahun silam, saat ada acara malam Indonesia di Zug, tempat dirinya tinggal.

Ada beberapa acara, seperti Tari Legong Bali, grup musik warga Indonesia yang tinggal di Swiss, dan juga ada pameran wayang kulit Bali yang ditempel di tembok sekaligus dijual.

“Aku gregetan, melihat wayang kok hanya ditempel di dinding. Lalu aku usul ke panitia, bagaimana kalau aku adakan peragaan wayangnya. Peragaan bagaimana wayang berjalan, berperang, karena di rumah sini, aku punya beberapa wayang suvenir yang kubeli di Malioboro. Pantia setuju,“ kata Sigit.

Sigit, yang diwawancarai Kompas.com lewat pesan elektronik, menambahkan setelah disetujui oleh panitia, lalu dirnya membeli kayu serta kain.

Baca juga: Kisah Sigit Susanto, Dalang Berbahasa Jerman Asal Kendal yang Menjelajah Eropa

Tidak cuma itu, Sigit, juga membuat sendiri sebuah jagangan kaki empat, dengan lebar cuma 1 meter, lengkap dengan geber putih dan atasnya merah. “Karena tidak ada yang main gamelan, aku memakai musik gamelan pakai compact disk (CD),” ujar Sigit.

Lakon yang dimainkan, tambah Sigit, waktu itu Ramayana. Dirinya mengaku hapal lantaran dulu sering antar turis di Bali melihat Tari Kecak yang menceritakan kisah Ramayana.

Di samping itu, sewaktu kecil, ia juga sering nonton wayang kulit di desa kelahirannya, Bebengan Boja. Sigit juga belajar mendalang dengan Ki Joko, dalang asal Solo yang bekerja di KBRI Jenewa.

Sigit Susanto, saat mendalang. KOMPAS.COM/DOK PRIBADIKOMPAS.COM/DOK PRIBADI Sigit Susanto, saat mendalang. KOMPAS.COM/DOK PRIBADI

“Setelah peralatan pentas wayang kulit siap, saya buat kecrek sendiri dari kaleng bekas jagung dan debok-nya aku ganti jerami dari dahan gandum. Sebab di Swiss enggak ada debok (batang pohon pisang), kalau pun ada, hanya debok kecil yang dijual di toko bunga,” jelasnya.

Lalu, dengan peralatan terbatas itu, Sigit memberanikan diri peragakan wayang, walaupun dirinya belum berani mengaku sebagai dalang.

Ternyata respons publik positif, dan yang menonton banyak dan suka. Anak-anak blasteran Swiss Indonesia yang belum pernah menyaksikan wayang berniat datang untuk melihatnya.

Baca juga: Cinunuk, Desa Lahirnya Wayang Golek yang Terlupakan

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com