Di tahun 1874, Raja Haji Fisabilillah gugur dalam pertempuran melawan Penjajah Belanda di Teluk Ketapang. Ia dikuburkan di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepri.
Pada bulan Agustus 1997, Raja Haji Fisabilillah diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan keputusan Presiden RI nomor: 072/TK/1997.
Raja Haji Fisabilillah mengikuti dengan cermat tindakan dari Belanda. Ia juga mencermati segala tipu daya Belanda.
Pemimpin kerajaan Riau-Lingga itu mengikuti kegiatan politik dan ekonomi Belanda di sepanjang selat Malaka.
Raja Haji Fisabilillah sangat anti dengan Bangsa Belanda yang serakah dan tak tau diri serta ingin mencampuri dan mengambil hak yang sah di setiap kerajaan.
Dia semakin anti dengan sikap Belanda yang menjadikan Perang Linggi sebagai alasan untuk menuntut kerajaan Riau membayar ganti rugi.
Sikap Belanda itu seperti ungkapan dalam tradisi lisan di Kerajaan Melayu, "seperti Belanda minta tanah, dapat tanah minta rumah".
Penyebab perlawanan berupa perang yang dilakukan oleh Raja Haji Fisabilillah karena Belanda melanggar perjanjian.
Sebelum Raja Haji Fisabilillah berkuasa, Belanda bersama tiga negeri pernah membuat perjanjian di Port Filipina pada tanggal 1 Januari 1758, atau di akhir Perang Linggi.
Perjanjian itu lebih dikenal sebagai perjanjian persabatan, perdamaian dan teman serikat. Ditandatangani oleh Daeng Kamboja atas nama Riau, Raja Tua atas nama Klang dan Raja Adil atas nama Rembau.
Perjanjian dengan Belanda juga dibuat di saat Raja Haji Fisabilillah berkuasa. Diantara isinya adalah pembagian harta rampasan yang harus dibagi dua.
Namun Belanda melanggar perjanjian hingga dan dirasa tidak menghormati hak-hak Kerajaan Riau yang berdaulat.
Di mana pada tahun 1782, pihak Belanda melakukan perampasan terhadap kapal Inggris, yang saat itu merupakan musuh Belanda, bernama Betsy yang bermuatan 1.154 peti candu.
Sebelum perampasan, Raja Haji Fisabilillah telah melaporkan kehadiran kapal Betsy kepada Gubernur VOC di Malaka, Pieter gerendus de Bruijin.