Oleh: Rusman*
LAJU industrialisasi yang terus terjadi di berbagai belahan dunia, tidak dipungkiri lagi telah membawa dampak negatif terhadap keseimbangan ekosistem global.
Lapisan es terakhir kutub utara telah mencair dan lubang lapisan ozon yang terus melebar, menjadi indikasi bahwa dunia telah menuju satu titik kritis.
Pengukuran yang dilakukan oleh 300 pakar iklim dari delapan negara yang lokasinya berbatasan dengan Kutub Utara menunjukan, dalam tiga dekade terakhir, lapisan es di lautan sekitar kutub menyusut sekitar 990.000 kilometer persegi (Live Science, 2017).
Dilansir pada portal dw.com (2016), peneliti iklim dari Institut Max-Planck untuk meteorologi di Hamburg, Jochem Marotzke mengatakan, menurut perhitungan, sekitar akhir abad ini lapisan es di Arktik pada setiap musim panas akan mencair seluruhnya.
Data terbaru yang dipublikasikan oleh United Nation Environment Programme (2022) mengungkapkan, 10 negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar secara global adalah Tiongkok, AS, Uni Eropa, India, Rusia, Jepang, Brazil, Indonesia, Iran dan Kanada.
Perubahan iklim tidak lagi hanya sekadar wacana yang diperdebatkan dalam forum-forum internasional. Namun perlahan telah menjadi kesadaran kolektif para pemimpin dunia untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
Indonesia menjadi perhatian dunia dalam penanganan perubahan iklim, karena diharapkan mampu berperan aktif melakukan upaya-upaya untuk “menyeimbangkan” ekosistem global mengingat adanya bentang alam hijau yang dimiliki.
Beberapa isu di tingkat global yang terus mengemuka, antara lain mengenai penggunaan energi berbasis sumber daya fosil, pengolahan sumber daya air rumah tangga, penggunaan material gedung ramah lingkungan dan pengurangan emisi gas rumah kaca secara massif.
Pada tahun 2015, sebanyak 195 pemimpin negara berkumpul di Perancis dalam sebuah forum bergengsi yang disebut COP 21 Paris.
Konferensi yang dinaungi oleh Dewan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ini, menghasilkan satu konsensus yang dikenal dengan nama Paris Agreement.
Kosepakatan global yang dicapai dalam Paris Aggreement antara lain agar setiap negara berupaya membatasi kenaikan suhu global sampai di angka minimum 1,5º Celcius, mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca sebagai upaya mencapai target emisi net zero.
Setiap negara diwajibkan memiliki rencana target pengurangan emisinya, dengan harapan akan membawa dampak positif dalam kerangka mitigasi perubahan iklim secara global.
Tidak heran, sejumlah negara kaya yang perekonomianya bertumpu pada sektor industri, berkepentingan agar negara-negara di garis khatulistiwa yang masih hijau seperti Equador, Kolombia, Brazil dan Indonesia dapat terus menjaga ekosistem hutan dan rawa gambut yang masih “tersisa”.
Terjadilah sebuah transaksi dalam kerangka perdagangan karbon antara negara “hijau” dan negara yang mulai “merah”.
Pada dimensi yang lain, gagasan tentang implementasi energi terbarukan yang lebih efektif, juga terus menjadi trending issue di berbagai media.
Korporasi yang menerapkan green production memperoleh nilai lebih di mata publik. Saham-saham perusahaan tersebut, terus bertengger di zona aman.
Pembiayaan atas proyek yang diarahkan untuk adaptasi perubahan iklim, semakin menarik di mata investor.