Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
A Jefrino Fahik
Mahasiswa Pascasarjana

Alumnus STF Driyarkara, Jakarta. Magister Sosiologi Universitas Indonesia. Pegiat Teologi dan Filsafat pada komunitas LSF Nahdliyin

Merajut Keseimbangan di Taman Nasional Komodo

Kompas.com - 09/08/2022, 08:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETELAH melewati gelombang aksi demonstrasi warga, akhirnya Pemerintah Provinsi NTT memutuskan untuk menunda pemberlakuan tarif baru, yaitu Rp 3,75 juta untuk masuk ke kawasan wisata Pulau Komodo dan Pulau Padar hingga 1 Januari 2023.

Dengan demikian, selama periode Agustus-Desember 2022, para pengunjung yang masuk ke Pulau Komodo dan Pulau Padar tetap berlaku tarif lama, yakni Rp 75.000 untuk wisatawan domestik dan Rp 150.000 untuk wisatawan mancanegara.

Keputusan itu paling tidak mengungkapkan dua hal. Pertama, pada mulanya adalah kebijakan yang cacat, baik secara hukum maupun secara etis.

Kedua, keputusan itu memberikan titik terang tentang peran sentral masyarakat dalam keseluruhan pembangunan di republik ini.

Pemerintah sejak semula bersikeras bahwa kenaikan tarif itu semata-mata untuk tujuan konservasi.

Pendapatan dari tarif itu akan digunakan untuk program kelestarian lingkungan serta penataan lokasi wisata.

Uang hasil pungutan retribusi itu dikelola oleh Pemerintah Provinsi NTT dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) (Kompas.id, 31 Juli 2022).

Gelombang aksi demonstrasi masyarakat bergulir di beberapa tempat di Labuan Bajo, menuntut agenda itu segera ditarik kembali.

Pasalnya, agenda tersebut tidak disokong dengan suatu hukum yang jelas dan berpotensi mengkhinati masyarakat.

Kita mengapresiasi sikap terbuka Pemprov NTT untuk menunda agenda tersebut. Namun, menyimak alasan yang dikemukakan pemerintah untuk menaikan tarif masuk ke TNK adalah mutlak bersifat preferensi, yakni mengenai apa yang dianggap penting/genting, maka ada baiknya diajukan pertanyaan ini: mengapa alasan itu penting dan genting, serta penting dan genting untuk siapa?

Agenda elitis

Ketika harga tiket resmi ditetapkan pada 1 Agustus 2022 lalu, siasat tentang agenda konservasi itu menguat.

Sejak itu, riuh ratapan rakyat meluas lantaran dampak kebijakan tersebut sangat dirasakan oleh warga lokal, asosiasi pemandu wisata, pengelola hotel dan restoran, operator kapal wisata, serta kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah. Pendeknya, rakyat merasa dikhianati oleh pemerintah.

Apakah kenaikan tarif atas nama konservasi benar atau salah? Di titik ini, jelas bahwa kepanikan kita pada bulan-bulan ini bukan soal apakah konservasi secara akademis benar atau salah, melainkan soal etika politik pembangunan, yakni apakah kebijakan politik itu memikirkan pengaruh baik dan buruknya bagi kehidupan masyarakat.

Di level akademis, konservasi secara keseluruhan merupakan sesuatu yang sangat baik. Kenaikan tarif dalam rangka konservasi menunjuk kebijakan pemerintah untuk mengurangi/membatasi jumlah pengunjung, yakni 200.000 orang per tahun ke Pulau Komodo, Pulau Padar, dan kawasan sekitarnya.

Konservasi ini dibuat berdasarkan kajian daya dukung dan daya tampung wisata (DDTW) yang dilakukan oleh para peneliti dan ahli, yakni berdasarkan pertimbangan tentang kelestarian ekosistem Komodo dan ketersediaan infrastruktur pendukung dalam pulau tersebut.

Gagasan itu sesuai dengan amanah konstitusi, yakni UUD 1945 Pasal 33 (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Slogan ini mulia, tapi klise.

Bagi kita warga Republik yang sudah lama mengenal gejala itu, ide itu kerap hanyalah omongan megalomania.

Sebagaimana kita sudah hafal, tujuan mulia itu paling banyak menjadi bulan-bulanan para preman bisnis dan tuan besar kekuasaan, baik di tingkat kabupaten-kota maupun tingkat nasional.

Dalam klise itulah istilah konservasi yang dikibarkan pemerintah menjadi semboyan yang, meminjam istilah B Herry Priyono (1960-2020), tidak hanya terdengar kotor, tapi juga jorok.

Di level etis, kita sepenuhnya sadar istilah konservasi itu menggelikan bukan karena konservasi an sich kotor atau jorok, bukan pula karena konservasi itu adalah kebijakan pemerintah, melainkan caranya.

Yang kotor dan jorok bukan pada keseluruhan istilah konservasi, melainkan bagaimana konservasi itu dilaksanakan.

Dalam situasi semacam inilah kebijakan itu memicu kecurigaan masyarakat karena berpotensi menghina harkat hidup banyak orang.

Pertama, konservasi sebagai kebijakan siluman. Kenaikan tarif berkedok konservasi itu punya dampak negatif serius.

Bagai siluman, kenaikan tarif itu selain memangsa pertumbuhan ekonomi mikro masyarakat lokal pasca-pandemi, memupus harapan kita ke TNK, juga berpotensi mengkomersialisasikan pariwisata oleh kelompok dan golongan tertentu. Misi siluman ini mematikan semua kepedulian etis.

Itulah sebabnya paket proyek konservasi yang diumumkan KLHK dan Pemprov NTT itu patut diperhatikan dan mesti membangunkan kesadaran kita dari tidur nyenyak.

Sebagaimana sudah beredar, konservasi itu dikuasai oleh PT Flobamor (BUMD Pemprov NTT) dan perusahaan-perusahaan swasta melalui paket izin usaha penyediaan sarana wisata alam (IUPSWA).

PT Flobamor memiliki Izin Penguasaan Pariwisata Alam (IPPA) dan Izin Usaha Penyedia Sarana Wisata Alam (IUPSWA) di TNK.

Kehadiran perusahaan ini dinilai memonopoli bisnis wisata di Labuan Bajo dari hulu (dari pendaftaran, bandara, kapal wisata, agen travel) hingga hilir (penginapan sampai urusan makan-minum).

Karena itu muncul kecurigaan bahwa konservasi itu beroperasi dalam skema struktural cara-cara berbisnis yang sudah lama menjadi pola hubungan pengusaha-pemerintah.

Dana bagi hasilnya pun terjadi dalam skema yang tidak biasa. Rencananya, harga paket Rp 15 juta tersebut dialokasikan untuk penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 2 juta, pendapatan asli daerah Rp 200.000, biaya asuransi Rp 100.000, dana konservasi Rp 7,1 juta, pendapatan PT Flobamor Rp 5,4 juta, dan pajak Rp 165.000.

Meski tidak proporsional, skema itu disepakati melalui nota kesepahaman yang ditandatangani oleh Gubernur NTT bersama Direktur Jenderal Koservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno.

Menteri KLHK, Siti Nurbaya dan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat berasal dari satu partai politik, Nasdem.

Kedua, konservasi sebagai proyek. Dari skema janggal di atas, kita akhirnya mengerti, libido bisnis pengusaha-pemerintah membuat konservasi lalu membusuk menjadi proyek.

Pembusukan ini membuka pintu bagi para pemburu rente untuk berbisnis. Kita lalu mengerti, luasnya malapraktik yang melibatkan elite politik di republik ini justru karena membusuknya hal semacam itu.

Logika klise itulah yang membuat kita panik karena pembusukan konservasi menjadi proyek kapitalisme punya efek langsung pada nasib hidup-matinya masyarakat.

Jadi, sejauh kita belum beranjak dari ego kalkulasi bisnis itu, sejauh itu pula kebijakan ini dinilai gagal lantaran mengorbankan masyarakat sebagai raison de’être (alasan adanya) negara: penciptaan tata keadilan.

Keganjilan

Sampai sekarang proyek tersebut menyisahkan keganjilan. Keganjilan itu menunjuk adanya praktik pemaksaan kehendak masyarakat oleh pemerintah.

Hal ini terjadi saat beberapa warga ditahan oleh aparat ketika melakukan demonstrasi pada 1 Agustus 2022.

Kehadiran aparat bersenjata laras panjang di jalanan Labuan Bajo itu memberi titik terang atas kultur militeristik pemerintahan kita selama ini.

Herbert Lionel Adolphus Hart, (1907–1992) filsuf hukum kontemporer asal Inggris itu, melukiskan tindakan semacam itu sebagai praktik “preman bersenjata” (gun man).

Dalam situasi seperti itu, korban berada dalam tekanan/ancaman si penodong senjata. Identitas korban dilucuti dan ia dipaksa berpikir sesuai dengan cara berpikir pelaku. Dalam situasi seperti ini korban adalah objek pelaku.

Maka, meski sejumlah perwakilan asosiasi yang selama ini berteriak keras diklaim menyetujui agenda pemerintah, ikhtiar kesepakatan itu patut direfleksikan karena konsensus dikemukakan setelah beberapa hari mereka ditangkap, ditahan, bahkan dipukul oleh aparat (Kompas, 5 Agustus 2022).

Di titik ini, strategi jalan tengah tetap dibutuhkan untuk mencegah ketegangan menjadi bom waktu di masa depan.

Evaluasi

Rumitnya situasi di atas mencerminkan ketidaksepakatan dalam sejumlah aspek. Pertama, ketidaksepakatan paradigma negara dan masyarakat terhadap kenaikan tarif masuk ke TNK.

Dalam kondisi seperti ini, memang sulit adanya kecocokan pandangan. Maka, sebaiknya kenaikan tarif itu perlu dievalusi. Pemerintah mesti realistis melihat keadaan. Apalagi pariwisata Labuan Bajo baru akan bergairah pascapandemi.

Alih-alih mendorong pendapatan melalui sektor pariwisata, kenaikan tarif justru membuat kunjungan wisatawan anjlok.

Hal itu bisa mematikan perekonomian masyarakat lokal-kecil yang selama ini menggantungkan hidupnya pada pariwisata. Protes masyarakyat perlu direfleksikan sejauh itu baik untuk masyarakat, bangsa, dan negara.

Kedua, ketidaksepakatan paradigma negara dan masyarakat terhadap skema konservasi di TNK. Rakyat merasa dirugikan dan disisihkan dari keseluruhan skema konservasi itu. Kehadiran PT Flobamor dinilai memonopoli urusan pariwisata di TNK.

Meski pemerintah benar, sebaiknya pemerintah menengahi ketegangan relasional perusahan-masyarakat ini dengan mencari solusi terbaik untuk menghindari konflik horisontal di masa depan. Isu ketidakadilan yang disuarakan masyarakat harus dipertimbangkan secara serius.

Ketiga, negara mesti merevisi ego teknokratik yang diterapkan di TNK. Konservasi yang berbasis eksperimen dan prosedur logis/rasional dari para ahli mestinya tidak berwajah reduksionistik.

Misalnya, menampik pluralitas pandangan masyarakat karena pandangan itu tidak sesuai dengan eksperimen ahli adalah contoh ego teknokratik sekaligus kesempitan wawasan pemerintah. Pemerintah perlu terbuka untuk mendengarkan beragam masukan rakyat.

Paradigma teknosains mesti dielaborasi dengan pandangan lain, demi merajut keseimbangan kebijakan publik. Yaitu, kebijakan yang memungkinkan terciptanya kesetaraan hak dan mendorong terwujudnya keadilan sosial.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com