Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
A Jefrino Fahik
Mahasiswa Pascasarjana

Alumnus STF Driyarkara, Jakarta. Magister Sosiologi Universitas Indonesia. Pegiat Teologi dan Filsafat pada komunitas LSF Nahdliyin

Merajut Keseimbangan di Taman Nasional Komodo

Kompas.com - 09/08/2022, 08:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam klise itulah istilah konservasi yang dikibarkan pemerintah menjadi semboyan yang, meminjam istilah B Herry Priyono (1960-2020), tidak hanya terdengar kotor, tapi juga jorok.

Di level etis, kita sepenuhnya sadar istilah konservasi itu menggelikan bukan karena konservasi an sich kotor atau jorok, bukan pula karena konservasi itu adalah kebijakan pemerintah, melainkan caranya.

Yang kotor dan jorok bukan pada keseluruhan istilah konservasi, melainkan bagaimana konservasi itu dilaksanakan.

Dalam situasi semacam inilah kebijakan itu memicu kecurigaan masyarakat karena berpotensi menghina harkat hidup banyak orang.

Pertama, konservasi sebagai kebijakan siluman. Kenaikan tarif berkedok konservasi itu punya dampak negatif serius.

Bagai siluman, kenaikan tarif itu selain memangsa pertumbuhan ekonomi mikro masyarakat lokal pasca-pandemi, memupus harapan kita ke TNK, juga berpotensi mengkomersialisasikan pariwisata oleh kelompok dan golongan tertentu. Misi siluman ini mematikan semua kepedulian etis.

Itulah sebabnya paket proyek konservasi yang diumumkan KLHK dan Pemprov NTT itu patut diperhatikan dan mesti membangunkan kesadaran kita dari tidur nyenyak.

Sebagaimana sudah beredar, konservasi itu dikuasai oleh PT Flobamor (BUMD Pemprov NTT) dan perusahaan-perusahaan swasta melalui paket izin usaha penyediaan sarana wisata alam (IUPSWA).

PT Flobamor memiliki Izin Penguasaan Pariwisata Alam (IPPA) dan Izin Usaha Penyedia Sarana Wisata Alam (IUPSWA) di TNK.

Kehadiran perusahaan ini dinilai memonopoli bisnis wisata di Labuan Bajo dari hulu (dari pendaftaran, bandara, kapal wisata, agen travel) hingga hilir (penginapan sampai urusan makan-minum).

Karena itu muncul kecurigaan bahwa konservasi itu beroperasi dalam skema struktural cara-cara berbisnis yang sudah lama menjadi pola hubungan pengusaha-pemerintah.

Dana bagi hasilnya pun terjadi dalam skema yang tidak biasa. Rencananya, harga paket Rp 15 juta tersebut dialokasikan untuk penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 2 juta, pendapatan asli daerah Rp 200.000, biaya asuransi Rp 100.000, dana konservasi Rp 7,1 juta, pendapatan PT Flobamor Rp 5,4 juta, dan pajak Rp 165.000.

Meski tidak proporsional, skema itu disepakati melalui nota kesepahaman yang ditandatangani oleh Gubernur NTT bersama Direktur Jenderal Koservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno.

Menteri KLHK, Siti Nurbaya dan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat berasal dari satu partai politik, Nasdem.

Kedua, konservasi sebagai proyek. Dari skema janggal di atas, kita akhirnya mengerti, libido bisnis pengusaha-pemerintah membuat konservasi lalu membusuk menjadi proyek.

Pembusukan ini membuka pintu bagi para pemburu rente untuk berbisnis. Kita lalu mengerti, luasnya malapraktik yang melibatkan elite politik di republik ini justru karena membusuknya hal semacam itu.

Logika klise itulah yang membuat kita panik karena pembusukan konservasi menjadi proyek kapitalisme punya efek langsung pada nasib hidup-matinya masyarakat.

Jadi, sejauh kita belum beranjak dari ego kalkulasi bisnis itu, sejauh itu pula kebijakan ini dinilai gagal lantaran mengorbankan masyarakat sebagai raison de’être (alasan adanya) negara: penciptaan tata keadilan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com