KOMPAS.com - Rumah Sakit Umum Daerah dr Soekardjo Tasikmalaya kebingungan karena tidak bisa membeli obat untuk pasien.
Penyebabnya adalah utang dua pemerintah daerah, yakni Pemerintah Kota Tasikmalaya dan Pemerintah Kabupaten Tasikamalaya, hingga kini belum dibayarkan. Rinciannya, utang Pemkot Tasikmalaya adalah sebesar Rp 15 miliar, sementara Pemkab Tasikmalaya Rp 5 miliar.
Ketua Dewan Pengawas RSUD dr Soekardjo Tasikmalaya Undang Sudrajat menjelaskan, akibat utang kedua pemerintah itu belum dibayar, pihak RSUD mengalami defisit keuangan.
"Kondisi keuangan RSUD dr Soekardjo benar-benar berat, karena tak ada pembayaran piutang jaminan layanan sosial kesehatan dari Pemkot dan Pemkab Tasikmalaya," ujar Undang kepada Kompas.com via sambungan WhatsApp, Senin (8/8/2022).
Baca juga: 2 Pemda Mengutang Rp 20 Miliar, RSUD Tasikmalaya Terancam Bangkrut
Menurut Undang, saat ini RSUD Tasikmalaya tidak bisa membayar obat. Rata-rata kebutuhan obat setiap bulan mencapai Rp 2 miliar.
Sementara utang RSUD ke pihak ketiga mencapai Rp 15 miliar. Utang yang belum dibayar itu sudah sampai ke awal Agustus ini.
"Cara untuk menyelamatkan kondisi ini ada kemauan politik dari pemkot dan pemkab Tasikmalaya membayar utang ke RSUD. Dikhawatirkan pihak perusahaan obat menyetop pengiriman obat. Padahal obat sangat penting dalam pengobatan pasien," keluh Undang.
Sementara itu, dikonfirmasi terpisah, Ketua Komisi IV DPRD Kota Tasikmalaya Dede Muharam yang merupakan mitra kerja bidang kesehatan mengakui Pemkot Tasikmalaya belum membayar utang bekas pengobatan pasien tak mampu ke RSUD Tasikmalaya.
Ia mengakui bahwa utang itu adalah akumulasi dari tahun lalu dan merupakan tanggung jawab Pemkot Tasikmalaya yang harus dibayar.
Namun demikian, Dede mengatakan bahwa masalah utang pemkot itu merupakan akumulasi dari persoalan rumah sakit yang sebenarnya, yakni masalah tata kelola rumah sakit yang tidak profesional sehingga menyebabkan keuangan RSUD terganggu.
"Kalau menurut hitungan kami, uang Rp 15 miliar itu tidak begitu besar dan tidak akan menjadi masalah ketika tata kelola RS dilaksanakan secara profesional dan akuntabel. Apa artinya uang Rp 15 miliar kalau tata kelolanya baik justru akan menghasilkan uang yang lebih besar," kata Dede.
Terkait tata kelola RS, Dede menyoroti soal implementasi Sistem Informasi Manajerial (SIM) RSUD. Ia mengatakan, SIM RSUD tidak dijalankan dengan baik. Padahal, kata dia, sistem tersebut bagus sebagai bagian dari monitoring cash flow rumah sakit.
Sementara, lanjut Dede, SIM tersebut dibayar Rp 1,8 miliar per tahun atau Rp 150 juta per bulan oleh pihak RS.
"Namun SIM itu tidak dijalankan. Akibat SIM tidak berjalan, lalu lintas uang dan obat tidak terdeteksi. Satu-satunya rumah sakit di Jawa Barat yang tidak menjalankan SIM yang baik adalah RSUD Tasikmalaya," kata Dede.
Menurut Dede, akibat SIM tak berjalan dengan baik, maka potensi kebocoran pun besar. Hal itu tentu saja akan mengganggu keuangan rumah sakit.