Denis berharap, sektor pertambangan terus berjalan dan usaha jasa lainnya juga dibuka.
Selain bertahan di tengah pandemi, tambang timah juga menyasar langsung kehidupan masyarakat bawah.
"Saat ini Rp 100.000 per kilogram untuk pasir timah. Sebelumnya bahkan sampai Rp 175.000 per kilogram. Akhirnya banyak yang menambang dan mereka punya uang," ucap Denis.
Dalam sebulan Denis bisa mendapatkan rata-rata 15 pesanan untuk menjadi driver. Jumlah itu sudah menyamai gaji minimum provinsi Rp 3.000.000.
Baca juga: Diduga Ilegal, 536 Balok Timah Seberat 8,8 Ton dari Rumah Warga di Bangka Tengah Disita
Sebagai driver, Denis juga harus mengatur waktu istirahat agar selalu bugar ketika mengemudi.
Pedagang pecel lele di daerah Koba, Bangka Tengah, Junaidi juga mengungkapkan bahwa penambangan timah sangat memengaruhi penghasilan mereka.
"Dulu saat timah masih jaya, di sini ada PT Kobatin. Kami bisa buka sampai pagi. Sekarang sudah sepi," ujar Junaidi.
Penurunan omset penjualan pun terjadi hingga 70 persen. PT Kobatin resmi ditutup dengan alasan merugi.
Pada awal 2010, produksi timah mengalami penurunan. Ini dikarenakan cadangan yang menipis dan kerusakan pada alat.
Pada 2009, PT Kobatin melaporkan produksi tidak mencapai target. Dari perencanaan 7.000 ton timah batangan, hanya terealisasi 6.000 ton.
Baca juga: Enggan Undang Investor, Warga Bangka Barat Buat Usaha Tambang Timah Sendiri
Dalam waktu bersamaan biaya produksi terus meningkat. Kemudian pada 2013 kontrak karya perusahaan habis.
Sebelumnya PT Kobatin sempat berganti investor dari Australia hingga Malaysia.
Menurut Junaidi, aktivitas warga di daerah Koba juga tidak seramai dulu lagi. Saat malam hari terasa sepi dan pada pukul 20.00 WIB sudah banyak yang tutup toko.
"Memang yang meramaikan dulu Kobatin. Sekarang tidak ada lagi," ujar Junaidi.