BIMA, KOMPAS.com - Kisah pilu ternyata masih dialami sejumlah tenaga pendidikan di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Terutama para guru honorer yang masih tetap bertahan di pelosok desa.
Para guru yang bekerja di pelosok itu menerima gaji bulanan yang jauh dari kata layak. Mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup karena penghasilan yang kecil.
Padahal, guru honorer adalah tulang punggung pendidikan yang turut membantu mencerdaskan anak bangsa di daerah terpencil.
Sayangnya, masih banyak para pahlawan tanpa tanda jasa yang tak mendapatkan kehormatan dari sisi kesejahteraan.
Seperti yang dialami M Guntur, salah seorang guru asal Kecamatan Donggo.
Guntur adalah guru yang mengajar kelas I SD Negeri di Desa Kala. Pria berusia 55 tahun ini sudah lama mengabdi sebagai guru honorer.
Ia menceritakan sejak awal mengajar pada 2006 lalu, ia masih digaji Rp 83.000 sampai Rp 100.000 per bulan.
Guntur mengatakan, upah yang diterima sebagai guru honorer tergantung dari jumlah jam mengajar di sekolah tersebut. Mirisnya, Guntur tidak boleh mengajar lebih dari delapan jam dalam satu bulan.
Ia juga mengatakan, saat ini seluruh gajinya berasal dari dana BOS yang dibayarkan tiga bulan sekali. Dalam setiap triwulan itu, ia menerima upah kurang lebih Rp 250.000- Rp 300.000.
"Honor di sekolah saya itu tidak menentu. Awal saya masuk ngajar di SD Rp 300.000 per triwulan tapi sekarang jadi Rp 250.000. Kalau dihitung, rata-rata sebulannya cuma Rp 83.000," kata Guntur saat ditemui Kompas.com, Jumat (29/7/2022).
Ia mengaku, penghasilan yang diterima itu tidak cukup menutupi kebutuhan keluarga. Tak ayal, Guntur harus memutar otak untuk bertahan hidup.
Sampai akhirnya ia harus membuka usaha kecil-kecilan di rumah dengan modal seadannya. Ia bersama sang istri menjual berbagai macam barang, mulai dari kopi instan, mi, hingga minuman dingin.
"Gaji tidak seberapa, hanya cukup untuk beli beras 10 kilogram. Ya harus pintar-pintar cari tambahan dengan membuka kios kecil depan rumah," kata dia.