BENGKULU, KOMPAS.com - Ada jutaan kisah terpendam di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW), Pemprov Bengkulu.
Saat Kompas.com mengunjungi 65 penghuni lanjut usia di panti sosial itu, kesan pertama yang didapat adalah rasa kesepian.
Sejumlah kakek-nenek duduk termenung menatap kosong. Ketika ada tamu menyapa, raut wajah ramah dan hangat terbingkai dalam senyum mereka. Namun saat tak ada orang, para penghuni panti sosial ini kembali terdiam dengan mata sayunya.
Di sisi lain ruangan, tampah pengasuh panti lalu lalalang koridor sambil membawa kain pel untuk membersihkan urine yang bercecer di lantai. Tercium aroma pesing dari salah satu ruangan yang ditinggali para nenek.
Baca juga: Kisah Antoneta Okoka, Anak Nelayan Papua yang Jadi Siswa Terbaik Prajurit TNI AL
Kedatangan Kompas.com disambut oleh Si (73), seorang kakek yang sudah 10 tahun menjadi penghuni di PSTW.
Kakek yang berasal dari Pulau Jawa ini sedang memutar tasbih. Dia memang terkenal taat beribadah.
Si merupakan seorang disabilitas netra. Kendati tidak bisa melihat, Si tak membutuhkan tongkat untuk berjalan. Tanpa melihat pun, Si bisa menebak karakter dan pekerjaan seseorang.
"Adek wartawan pasti, saya bisa menebak," ujar kakek Si saat ditemui Kompas.com beberapa waktu lalu.
Kakek Si bukan tipe orang yang suka membicarakan orang lain. Hal ini terlihat saat Kompas.com mencoba bertanya soal keluarga dan anak-anaknya.
"Saya tak ingin membicarakan individu. Saya takut ghibah lalu saya tidak disayang Tuhan. Saya berterimakasih diberi kebutaan oleh Tuhan karena dengan buta mata saya tidak bisa melihat maksiat," kata Si.
Dia pernah bertanya kepada Tuhan mengapa diberi kebutaan. Menurut pengakuannya, tiga kali dia bertanya hal tersebut, tiga kali pula dia memimpikan bentangan sajadah dan kain sarung.
"Setelah itu saya tidak bertanya lagi pada Tuhan mengenai kenapa saya dibutakan," ungkapnya.
Pada akhir percakapan ia berpesan agar manusia kerap bersyukur atas apa yang didapat dari Mahabaiknya Tuhan.
Di panti itu, kami juga bertemu dengan Topik (82). Di usia muda, Topik pernah menjabat sebagai kepala desa di Kabupaten Bengkulu Utara. Kini dia menghabiskan waktu beternak ayam dan itik sembari bertanam jagung di panti.
"Ayam, itik, dan jagung serta pupuk disediakan Pak Indriyanto (salah seorang ASN PSTW). Saya suka menghabiskan waktu beternak dan bertani. Hasilnya saya belikan lagi untuk menambah ternak," ujarnya.
Kisah Topik menjadi warga panti cukup dramatis. Demi anak-anak bekerja di luar Bengkulu, dan tak ada yang merawatnya di usia senja, perangkat desa mengusulkan agar Topik dirawat di panti jompo.
"Di panti saya senang ada kegiatan, makan terjamin, karyawannya (petugas PSTW) baik-baik," jelasnya.
Ada juga Kakek S (74) yang tengah mencangkul saat dijumpai Kompas.com. Dengan tubuh penuh keringat, kakek S mengaku ingin menanam cabai di petak tanah yang dicangkulnya.
"Saya rencana mau tanam cabai ini," katanya sambil menyeka keringat di keningnya.
Kakek S mengaku sudah beberapa tahun menjadi warga panti. Dia dikirim ke panti karena tidak ada keluarga yang mampu merawatnya di kampung halaman.