LABUAN BAJO, KOMPAS.com - Keuskupan Ruteng, NTT merespons polemik naiknya tarif masuk ke Taman Nasional Komodo menjadi Rp 3.75 juta per tahun.
Kebijakan itu rencananya akan mulai berlaku pada awal Agustus 2022 mendatang.
Vikjen Keuskupan Ruteng, Romo Alfons Segar, menjelaskan, terkait dengan polemik kenaikan tarif masuk di Taman Nasional Komodo, Gereja Keuskupan Ruteng menilai rencana kenaikan tersebut dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia bersama dengan Pemerintah Provinsi NTT.
Dengan pertimbangan konservasi habitat komodo, yang pada gilirannya mendukung pariwisata berkelanjutan.
Baca juga: Semoga Tidak Terjadi Penurunan Permintaan Wisata di Labuan Bajo dan TN Komodo
Namun, protes dari para pelaku pariwisata dan masyarakat yang terdampak memperlihatkan pentingnya mengintegrasikan kondisi perekonomian masyarakat yang baru menggeliat akibat pandemi Covid-19 ke dalam kebijakan pariwisata.
Gereja Keuskupan Ruteng tidak henti-hentinya memperjuangkan pariwisata holisitik yang mencakup semua dimensi kehidupan manusia dan kesejahteraan umum.
"Secara khusus, kami mengusung tema pariwisata holistik dalam program pastoral Keuskupan Ruteng tahun 2022 ini dengan motto Berpartisipasi, Berbudaya dan Berkelanjutan," kata Romo Alfons dalam keterangan tertulis.
"Berpartisipasi berarti pariwisata yang melibatkan dan mensejahterakan masyarakat lokal. Berbudaya berarti pariwisata yang berakar dan bertumbuh dalam keunikan dan kekayaan kultur dan spintualitas setempat. Berkelanjutan berarti pariwisata yang merawat dan melestarikan alam ciptaan," lanjut dia.
Baca juga: Sandiaga: Lihat Komodo Bisa di Pulau Rinca, Tiket TNK Rp 3,75 Juta karena untuk Konservasi
Ia mengatakan, melalui paroki, lembaga gerejawi, biara-biara maupun awam katolik, khususnya para pelaku wisata, Gereja Keuskupan Ruteng telah dan akan terus-menerus terlibat mengembangkan panwisata holistik dari Wae Mokel sampai Selat Sape, Manggarai Raya.
Selain mengelola situs dan program pariwisata rohani, Gereja Katolik berpartisipasi dalam menggerakkan ekonomi kreatif pariwisata umat, menggalakkan pariwisata - budaya serta mendorong pariwisata alam.
Lebih dari itu, gereja terlibat dalam menguatkan aspek spiritual dan etis umat sehingga dapat mengupayakan pariwisata yang beradab dan bermartabat serta menangkal dampak negatif yang timbul dari pariwisata.
"Kami menilai bahwa momentum kenaikan tiket tersebut kurang tepat, karena dunia pariwisata di Labuan Bajo dan Flores pada umumnya sedang bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19. Selain itu, kenaikannya yang sangat drastis mengganggu animo wisatawan dan menghambat kebangkitan dunia pariwisata yang menjadi motor penggerak perekonomian masyarakat," tegasnya.
Baca juga: DAMRI Jurusan Bandara Komodo - Labuan Bajo, Tarifnya Rp 10.000
Kebijakan publik tersebut, lanjut dia, harus melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan dalam sebuah dialog dan uji publik yang intensif.
Selain kajian akademik, dituntut pula kajian sosial yang mempertimbangkan dampak ekonomis, politis, kultural dan ekologis dari kebijakan tersebut. Selain itu dibutuhkan pula proses sosialisasi yang tepat dan terus menerus.
Pihaknya pun mengimbau kepada semua pihak untuk membangun dialog dalam menangani isu-isu sosial bersama.
Hal itu sangatlah selaras dengan budaya Manggarai, yakni onto leok dalam rangka memperkuat kebersamaan dan kesatuan (nai ca anggit, tuka ca leleng).
Cara atau metode yang digunakan untuk menyampaikan pendapat secara demokratis hendaknya tidak berdampak merugikan pariwisata.
"Marilah kita terus menerus merajut tali persaudaraan dalam dinamika pariwisata super premium dalam rangka mewujudkan peradaban kasih di tanah Nuca Lale Manggarai Raya," imbuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.