Pendamping pertanian, Ignatius Eko Prasetyo menceritakan, semua berawal dari para pemuda prihatin bagaimana anak-anak sudah jarang ikut turun ke ladang.
Padahal di desa ini rata-rata keluarga petani. Kelompok Suburnggabur kemudian bercita-cita untuk mendorong anak tidak lupa dari mana mereka berasal.
Mulai 2008, pihaknya membuka lahan dengan meminjam lahan sekolah untuk mengembangkan ekosistem.
Imbal baliknya, sekolah menitipkan anak untuk dibimbing pertanian organik.
Awalnya, merek bisa menanam sampai 30 jenis tanaman.
"Bahkan awalnya ada lobak," kata Eko.
Perjalanan waktu, tersisa 15 jenis tanaman, sesuai kebutuhan pasar.
Baca juga: Maling Satroni Gudang Dermaga Laut Adikarto di Kulon Progo, Diesel hingga Pemotong Rumput Hilang
Eko menceritakan, pelajar tidak langsung turun ke lahan dan ikut bercocok tanam.
Bocah kelas 1-3 hanya mengenal jenis tumbuhan, menyukai ladang dan lahan pertanian, dan mengerti pemanfaatannya.
Mereka baru mencoba menanam dalam polibag. Berbeda dengan pelajar yang lebih senior.
Pelajar kelas empat, lima dan enam sudah terlibat menggarpu lahan, menanam, perawatan, menyiram, pada tanaman buah juga ikut memberi lanjaran atau tonggak agar bisa berdiri, termasuk juga ikut memanen.
Tiap kelas mendapat kepercayaan menangani sembilan bedeng berisi sayur yang berbeda.
“Misal ada yang ingin beli saat pulang gereja besoknya, sehari sebelumnya anak-anak ikut panen,” kata Eko.
Sekolah ini memang menggelar ekstrakulikuler yang berbeda. Tiap anak menyukai kegiatan ini.
Semua berlangsung di alam yang memiliki keindahan pemandangan Bukit Menoreh.
"Senang bisa main di ladang," kata Kakak Yusuf, pelajar kelas satu yang baru pertama terjun ke ladang itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.