TASIKMALAYA, KOMPAS.com - Psikolog Rikha Surtika Dewi mengomentari bocah SD 11 tahun korban bullying di Tasikmlaya yang meninggal. Rikha menyebut bullying atau perundungan berbahaya.
Mirisnya, penyebab awal kasus ini kerap dianggap sepele masyarakat di perkotaan dan perkampungan. Dalam bahasa Sunda, disebut dipoyokan atau diejek atau dibully.
Dosen Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya (UMT) Biro Psikologi Solusi dan Harapan Bunda Therapy Center ini mengungkapkan, kasus bullying saat ini semakin parah.
Baca juga: Bocah SD di Tasikmalaya yang Dipaksa Setubuhi Kucing Rahasiakan Identitas Pelaku hingga Meninggal
Bully tersebut tidak hanya fisik tapi perkataan, psikologis, hingga perilaku.
"Fenomena sekarang ada pergeseran budaya akibat masifnya media sosial. Sebenarnya bully di kita sejak dulu sudah ada dengan istilah 'dipoyokan' dan selalu dianggap sepele," jelas Rikha kepada Kompas.com lewat telepon, Kamis (21/7/2022).
Baca juga: Bocah SD Korban Perundungan di Tasikmalaya Meninggal, Praktisi Ungkap Dampak Kekerasan Siber
Rikha menambahkan, bullying atau dipoyokan bergeser kebiasaanya menjadi bahan keseharian pergaulan masyarakat terutama anak dengan anak, dewasa dengan anak, dan malah banyak dicontohkan di konten viral media sosial.
Bahkan, budaya bully atau dipoyokan tersebut sengaja dibuat video dan disebarkan di media sosial supaya viral dan mendapatkan uang atau dikomersialisasikan.
"Sekarang dengan acara ngejek, menjatuhkan orang lain, dan menganggap orang lain bodoh itu seolah dengan makna pergaulan anak yang biasa. Karena apa? Sebetulnya anak-anak dicontohkan orang dewasa di dekatnya. Juga, dengan anak sudah bebas di media sosial dan mencontoh orang dewasa yang selalu moyokan atau mengejek ke orang lain dan itu dicontoh anak-anak," tambah Rikha.
Baca juga: Dipaksa Setubuhi Kucing hingga Depresi, Ini 7 Fakta Kematian Bocah SD di Tasikmalaya
Padahal, lanjut Rikha, hal yang dianggap sepele tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis atau kejiwaan para korbannya atau orang yang dibully.
Bahkan, kondisi korban anak paling parah akan mengalami depresi, penurunan kepercayaan diri, sampai akhirnya bisa meninggal seperti kasus di Kabupaten Tasikmalaya.
"Budaya kita sudah mulai bergeser dan jadi banyak bully, semakin banyak contoh dan hit serta malah dikonsumsi entertain buat konten bully dan sebagainya," tutur dia.
"Kadang kita sudah mendengar di kalangan anak-anak dan dewasa kalau gak bully gak best friend. Makanya dianggap sepele dan kadang di rumah sendiri itu terjadi seperti itu oleh orang dewasa, orangtua, atau bahkan orang yang ditemui di dekatnya," tambah Rikha.
Saat ini, Rikha menyebut, pihaknya sangat banyak menemukan klien akibat bully baik di sekolah, lingkungan sekitar, sampai di tempat anak-anak beraktivitas atau bermain.
Seharusnya orang dewasa bisa mencontohkan mana batasan bully dan sampai mana batasan candaan. Serta tak hanya asal bicara tanpa mempertimbangkan perasaan yang dipoyoknya atau dibully.
"Iya, kan ada banyak faktor ya, bagaimana orangtua memberikan pengasuhan, terkait benar buruk awalnya dari rumah, orangtua atau yang membesarkan kita. Jadi asal lihat dewasanya akan dicontoh atau bullying itu sudah akrab di sekitar."
Baca juga: Bocah SD di Tasikmalaya yang Dipaksa Setubuhi Kucing Rahasiakan Identitas Pelaku hingga Meninggal