KOMPAS.com - Perang Pattimura (1817) merupakan sebuah peristiwa sejarah yang terjadi di Maluku yang merupakan bentuk perlawanan rakyat terhadap VOC atau serikat dagang milik Belanda.
Maluku yang merupakan surga rempah-rempah memang kerap didatangi para pedagang dari Cina, India, Arab, hingga bangsa Eropa.
Baca juga: Benarkah Nama Asli Kapitan Pattimura adalah Ahmad Lussy?
Hal inilah yang membuat VOC datang dan Belanda resmi menguasai Maluku dan membawa kesengsaraan bagi rakyat.
Baca juga: Biografi Pattimura, Kapitan dari Maluku, dari Perjuangan hingga Diabadikan di Uang Rupiah
Tak urung perlawanan rakyat Maluku terhadap Belanda pun meletus di bawah pimpinan komando Thomas Matulessy atau dikenal dengan nama Kapitan Pattimura, sehingga disebut dengan Perang Pattimura.
Baca juga: Sikap Kapitan Pattimura Mencerminkan Nilai Sila Kelima Pancasila
Perang ini berlangsung di berbagai tempat, dan salah satunya dikenal juga sebagai Perang Saparua.
Sekitar abad 16-17 M, bangsa-bangsa Eropa seperti Inggris, Belanda, Spanyol dan Portugis yang datang ke Maluku memang sudah mencoba memperebutkan kekuasaan dagang di wilayah tersebut.
Maluku sempat berada di bawah kekuasaan Inggris hingga pada awal abad 19, kawasan Maluku kembali berada dibawah kekuasaan Belanda.
Hal ini terjadi setelah Inggris menandatangani perjanjian traktat London dengan menyerahkan wilayah kekuasaan Indonesia kepada Belanda.
Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (1981) karya M.C Ricklefs, disebutkan beberapa alasan munculnya perlawanan masyarakat Maluku terhadap Belanda pada 1817.
Salah satuya adalah tindakan sewenang-wenang dari Residen Saparua, Van den Berg yang membawa kesengsaraan bagi rakyat Maluku karena kerja paksa yang sebelumnya dihapus pemerintah Inggris justru kembali diberlakukan.
Rakyat Maluku juga diwajibkan untuk menyediakan perahu (orambai) guna memenuhi keperluan administrasi dan militer Belanda tanpa diberi bayaran.
Selain di Saparua, rakyat Maluku di tempat lain juga diharuskan untuk menyerahkan ikan asin, kopi, dan hasil laut lainnya kepada Belanda.
Belanda juga melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah melalui pelayaran Hongi di Maluku.
Pada Mei 1817, rakyat Maluku mulai membuat beberapa pertemuan untuk membahas strategi dan konsep perlawanan terhadap Belanda.
Dalam pertemuan 14 Mei 1817, rakyat Maluku mengangkat sosok Thomas Matulessy yang merupakan bekas tentara Korps Ambon sebagai pemimpin pergerakan dengan sebutan Kapiten Pattimura.