Lorensius mengatakan, kondisi itu membuat anak-anak malas, bahkan memilih berhenti sekolah. Ditambah lagi akses jalan menuju sekolah masih penuh bebatuan.
"Anak-anak kalau malas mereka tidak mau sekolah. Beberapa anak di sini banyak putus sekolah," katanya.
Laurensius Paul (33) salah seorang guru sekolah itu mengatakan bahwa fasilitas penunjang seperti gedung, buku bacaan, dan listrik menjadi masalah utama.
Akibatnya, kata Paul, setiap tahun minat anak-anak untuk sekolah semakin menurun. Selain itu dampaknya terhadap kemampuan kognitif para siswa.
Baca juga: Gubernur NTT Akan Kirim Pelaku Kejahatan Seksual ke Lapas Nusakambangan
"Sekolah ini hanya memiliki 20 siswa. Kelas I, enam siswa, kelas 2, tiga siswa, kelas 3 tujuh siswa, dan kelas 5 empat siswa. Kelas 4 dan 6 tidak ada. Kemampuan siswa juga sangat rendah," ujarnya.
Meski demikian kata Paul, para guru tidak putus asa dan setia mengajar dan membimbing para siswa.
Hanya saja lanjutnya, mereka cemas dan takut saat hujan dan angin karena kondisi gedung darurat yang nyaris roboh.
"Setiap kali hujan lebat kami pindahkan anak-anak ke teras gedung yang permanen. Nanti proses KBM dilanjutkan di sana" ujarnya.
Ia berharap, pemerintah bisa membantu membangun ruang kelas, jalan, dan jaringan listrik menuju sekolah itu.
"Saat ini kami sangat kesulitan. Belum lagi jalannya bebatuan dan terjal. Apalagi saat musim hujan, itu susah sekali," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.