MAUMERE, KOMPAS.com - Senyap dan dingin menjadi kesan pertama begitu menginjakkan kaki di Kampung Kepiketik, Dusun Pigang, Desa Mahekelan, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, NTT.
Kala itu jarum jam baru menunjukkan pukul 19.00 Wita, tapi suasana kampung begitu sunyi dan gelap.
Padahal, kampung ini hanya berjarak 3 kilometer dari ruas jalan negara yang menghubungkan Maumere di Kabupaten Sikka dengan Larantuka di Flores Timur.
Meski begitu, kondisi jalannya masih terjal dan penuh bebatuan. Listrik pun tak ada.
Baca juga: Penganiaya Pria hingga Tewas di Sikka Ditahan, Polisi Masih Dalami Motif Pelaku
Untuk penerangan, warga hanya mengandalkan lampu minyak tanah atau yang mereka sebut lampu pelita.
Lampu ini terbuat dari kaleng bekas yang dilengkapi sumbu. Kaleng itu kemudian diisi minyak tanah, lalu sumbu dicelupkan hingga ke dasar kaleng.
Saat minyak tanah naik sampai puncak sumbu, barulah dinyalakan.
Sementara warga yang punya rezeki berlebih bisa membeli lampu panel surya. Itu pun terbatas hanya untuk dua bola lampu.
Untuk kepentingan lain seperti charger, mereka harus pergi sejauh 3 kilometer.
Di malam yang gelap itu seorang bocah berlari menyambut kedatangan Kompas.com. Namanya Yoan, usianya masih 9 tahun.
"Mari, kami sudah menunggu dari tadi. Bapak dan mama ada di dalam rumah," ujar Yoan dengan suara lirih.
Baca juga: Pemprov NTT: Kita Perlu Belajar dari China untuk Mencegah Kepunahan Komodo
Berdinding pelupuh bambu dan beralaskan tanah, Yoan rupanya sedang belajar bersama ketiga temannya, yakni Risal, Evan, dan Rio.
Dalam kondisi gelap gulita, keempat bocah itu hanya mengandalkan satu lampu pelita.
Agar bisa membaca dan menulis, Yoan dan teman-temannya harus mendekati cahaya lampu.
Hidung dan kulit mereka pun menghitam akibat asap lampu minyak tanah.