PONTIANAK, KOMPAS.com - Mediasi antara petani plasma dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar) gagal.
Mediasi yang difasilitasi DPRD Kalbar dengan menghadirkan petani plasma, perusahaan dan Dinas Perkebunan Mempawah itu sebenarnya telah menyimpulkan sejumlah poin.
Salah satu di antaranya adalah kedua pihak akan merevisi perjanjian plasma paling lambat 14 hari setelah mediasi dilakukan.
Baca juga: Selama 12 Tahun Dibayar Rp 50.000 per Hektar, Petani Plasma: Dijajah di Tanah Kami Sendiri
"Pada poin itu sudah sepakat, tapi saat diminta menandatangani berita acara, pihak perusahaan menolak," kata Anggota DPRD Kalbar Heri Mustamin, Rabu (29/6/2022).
Jalannya mediasi berlangsung alot. Petani meminta perusahaan adil dalam memberikan hasil kebun sementara perusahaan bersikukuh telah membagikan hasil secara adil.
"Kami sebenarnya kecewa juga, karena dokumen baru dibuka perusahaan pada saat mediasi sudah mau selesai," ucap Heri.
Anggota DPRD Kalbar yang lain Ermin Elviani menilai, perusahaan tidak menghargai lembaga karena menolak tanda tangan kesepakatan mediasi yang telah disetujui bersama.
Menurut Ermin, setelah ini, DPRD Kalbar telah merekomendasikan agar persoalan tersebut diselesaikan Pemkab Mempawah.
"Perusahaan tidak menghargai lembaga kami dan semua pihak yang hadir dalam rapat mediasi itu,” kata Ermin.
Baca juga: Asian Agri Bagikan Premi Rp 3,6 Miliar untuk 30.000 Petani Plasma
Wakil Ketua Komisi II DPRD Kalbar Suib menilai, perusahaan harus melibatkan koperasi sebagai kepanjangan tangan petani untuk melakukan pengawasan.
"Keterbukaan perusahaan sangat perlu, terutama melibatkan koperasi sebagai kepanjangan petani, supaya hitung-hitungannya bisa diakses oleh semua pihak yang berkepentingan," kata Suib.
Suib juga mendorong petani bisa berdiksusi dengan kepala dingin agar segera mencapai kesepakatan.
"Kedua belah pihak harus tawar-menwar kepentingan, pendapatan petani tidak rendah, tapi perusahaan juga tidak rugi," ungkap Suib.
Sementara itu, Humas dan Manajer CSR PT Peniti Sungai Purun (PSP) HPI Agro Paulus menolak memberikan keterangan saat ditemui di sela-sela proses mediasi.
Baca juga: Keluh Kesah Petani Kelapa Sawit di Sumut Saat Harga TBS Anjlok ke Rp 800 Per Kg
Perwakilan petani plasma, Zailani mengatakan, lahan yang diserahkan masyarakat kepada perusahaan adalah lahan adat untuk dikelola secara adil. Tapi nyatanya, perusahaan curang.
"Dalam perjanjian 70:30. Petani dapat 30 persen. Tapi nyatanya perusahaan potong lagi bagi hasil petani 55 persen," terangnya.
Tindakan perusahaan tersebut dinilai sangat tidak rasional dan merugikan petani. Ditambah lagi, keingkaran perusahaan membayar plasma per hektar hanya Rp 50.000 per hektar.
"Setelah ribut-ribut baru dinaikkan jadi Rp 100.000," terangnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.