NUNUKAN, KOMPAS.com - Penambangan pasir pantai ilegal di Pantai Sungai Batang, Sebatik Induk, Nunukan meresahkan masyarakat.
Salah satu warga bernama Basri mengatakan, banyak hunian panggung dengan konstruksi kayu yang terancam roboh.
"Tiang rumah menggantung, rumah banyak yang miring. Kami bingung kondisi ini sudah dilaporkan ke Desa dan Kecamatan. Diteruskan ke aparat, namun tidak pernah ada tindakan, tidak pernah ada penangkapan," ujar salah satu warga Sungai Batang yang rumahnya terdampak abrasi, Basri, Minggu (18/6/2022).
Camat Sebatik Induk Andi Salahuddin membenarkan adanya penambangan pasir ilegal di wilayahnya. Dia memastikan, aktivitas penambangan tersebut ilegal dan terlarang. Tidak ada izin apapun yang mendasari penambangan pantai di perbatasan RI-Malaysia ini.
Andi juga mengaku, aktivitas penambangan pasir ilegal itu membuat kewalahan karena penambang selalu main kucing-kucingan dengan aparat.
"Kalau dipatroli, mereka hilang entah kemana. Sepertinya mereka (penambang pasir) hafal jam patroli, sehingga begitu tidak ada patroli, mereka kembali menambang," katanya.
Andi mengatakan, penambangan pasir terus terjadi akibat kelangkaan pasir di Pulau Sebatik. Sebab, pasir untuk bahan bangunan yang legal hanya didatangkan dari Palu dan Tanjung Selor.
Harga pasir dari luar daerah pun lebih mahal dua kali lipat dibanding harga pasir ilegal.
Pasir dari luar daerah dijual sekitar Rp 1,2 juta per rit, sementara pasir ilegal Rp 600.000 per rit.
"Walaupun alasan langka, kan tetap saja tidak boleh. Tidak ada istilah mencuri karena perut lapar dibenarkan," kata Andi.
Sementara untuk berapa luasan pantai yang tergerus akibat penambangan liar, Andi tidak dapat memastikannya.
Sejauh ini, langkah yang dilakukan pihak Kecamatan adalah memasang plang peringatan. Namun, upaya itu diabaikan.
"Aparat masang plang peringatan tapi nggak pernah nangkap. Saya nggak tahu juga kenapa, sementara undang undangnya jelas, hukumnya jelas. Bahkan lebh berat daripada hukuman pembunuhan. Kami berharap ada tindakan sehingga ada efek jera dan aktivitas itu bisa berhenti," katanya.
Selain ancaman abrasi dan berkurangnya luas Pulau di Perbatasan RI-Malaysia ini, potensi gesekan warga juga menjadi ancaman sosial.
"Itulah permohonan kami agar ada tindakan aparat supaya ada efek jera. Kita hanya melakukan imbauan bukan eksekutor, kita juga sudah laporkan ke polisi. Dalam kasus ini, ada foto, ada video sebagai bukti, apa lagi? Tentu sudah diketahui siapa pemiliknya dengan bukti yang jelas itu," tegasnya.