KOMPAS.com - Kemunculan makanan Padang non-halal yang menyajikan rendang berbahan daging babi, memicu polemik karena dianggap menghina masyarakat dan budaya Minangkabau yang identik dengan agama Islam.
Itu mengapa sejumlah tokoh dan politisi asal Sumatera Barat mengecam pemilik restoran tersebut dan mendesak agar ditindak.
Baca juga: Muncul Usulan Sertifikasi Masakan Padang, Buntut Nasi Padang Babi
Baca juga: Benarkah Masakan Padang Identik dengan Budaya Islam? Ini Kata Sosiolog
Budayawan Minang dari Universitas Andalas, Profesor Gusti Asnan, mengatakan, sikap reaktif orang Minang atas kemunculan makanan Padang non-halal yang menyajikan rendang berbahan daging babi merupakan suatu hal yang wajar.
Sebab, hal itu artinya menghina budaya dan falsafah hidup orang Minang yang sangat lekat dengan ajaran agama Islam.
"Karena budaya Minang itu identik dengan Islam dan daging babi itu suatu yang haram dalam Islam," ujar Profesor Gusti Asnan kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (13/6/2022), dikutip dari BBC Indonesia.
Keterikatan masakan Padang atau Minang dengan adat dan agama Islam itu tertuang dalam falsafah: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat bersandar pada syariat dan syariat bersandar pada nilai-nilai adat.
Falsafah itu, kata dia, mulai diberlakukan pada awal abad ke-19 atau ketika Islam mulai diperkenalkan kepada masyarakat Minangkabau.
Falsafah ini diterapkan sebagai landasan dalam berinteraksi, berperilaku, termasuk membuat makanan yang sesuai syariat Islam.
Karena falsafah itu pula kebiasaan lama masyarakat Minangkabau mengonsumsi tikus, kalong, dan ular, akhirnya ditinggalkan lantaran tak lagi sejalan dengan nilai-nilai adat dan syariat yang dipegang.
"Jangankan babi yang haram, makan tikus, kalong meskipun tidak diharamkan dalam Islam, seiring munculnya falsafah ini makan kalong, tikus atau ular akhirnya ditiadakan," ujar dia.
"Tapi kalau pakai daging ayam untuk rendang selagi tidak bertentangan dengan syariat Islam dan adat, ya tidak apa-apa," ujar Asnan menambahkan.
Asnan juga tidak setuju restoran atau rumah makan Padang dilabeli halal.
Sebab selama ini orang Minangkabau "hakul yakin masakan Padang identik dengan Islam," katanya.
Polemik rendang berbahan daging babi viral di media sosial Twitter setelah diunggah oleh akun bercentang biru, Hilmi Firdausi @Hilmi28.
Menurut dia, menu yang disajikan restoran tersebut kontradiktif dengan kekhasan masakan Padang yang berasal dari Tanah Minang, yaitu kehalalannya.
Hingga Sabtu, cuitan itu telah disukai oleh 8.660 akun dan di-retweet 9.753 akun.
Sementara, politisi Partai Gerindra yang merupakan Ketua Umum Ikatan Keluarga Minang (IKM), Fadli Zon, turut berkomentar.
Katanya, menjual makanan khas dengan unsur babi telah melukai perasaan orang Minang.
Ketua DPRD Kabupaten Solok, Dodi Hendra, juga berkata konsep restoran bernama "Babiambo" tersebut menghina budaya masyarakat Minangkabau.
Gara-gara cuitan itu, kepolisian memanggil pemilik restoran, Sergio untuk diperiksa. Tapi Kapolsek Kelapa Gading, Vokky Sagala, mengatakan tidak ada unsur pidana yang bisa menjeratnya sehingga tak dikenakan sanksi hukum apapun.
Sementara itu, Sergio mengaku kaget usahanya viral di media sosial. Padahal warung itu sudah tak lagi beroperasi sejak sebelum pandemi Covid-19 melanda pada awal tahun 2022.
"Saya juga kaget. Jadi memang tiga bulannya sekitaran itu (restoran tutup). Belum lockdown sepertinya," tutur Sergio.
Dia pun meminta maaf jika usahanya dianggap menyinggung warga Minang dan berjanji tidak akan mengulanginya.
"Karena keterbatasan pengetahuan kami, kalau ternyata ini akan menyinggung ke arah sana. Saya menyesal, kalau tahu dari awal bakal begini tidak akan dilakukan."
Sejarawan kuliner, Fadly Rahman, mengatakan, rendang sedianya adalah teknik dan proses mengolah makanan untuk diawetkan. Bahan bakunya bisa menggunakan telur atau tempe.
Untuk daging, selain sapi biasa menggunakan kerbau, domba, ayam, dan babi.
"Yang paling sedikit digunakan adalah daging babi," imbuh Fadly Rahman.
Namun demikian, masakan Minang seperti rendang semestinya bukan cuma dilihat sebagai produk hasil mengolah makan semata tapi juga berkaitan dengan nilai-nilai tradisi Minangkabau yang sangat berkaitan dengan nilai-nilai ke-Islaman, salah satu unsurnya adalah kehalalan.
Pandangan itu, kata Fadly, dimulai dari abad ke-17 atau masa ketika Islam diperkenalkan dan berkembang di Sumatera Barat.
"Memang di kalangan masyarakat Minangkabau yang saat itu pra-Islam atau sebelum Islam masuk, mereka mengonsumsi makanan non-halal seperti babi atau yang disembelih dengan cara-cara tidak sesuai syariat," ujar dia.
"Abad ke-17 ada Syekh Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman, berusaha mengadabkan masyarakat pra-Islam dan islamisasi terjadi lalu kemudian muncul gerakan halalisasi," ujar Fadly.
Bagi Fadly, nilai-nilai tradisi yang dimiliki dan dipegang masyarakat Minangkabau sebaiknya dihargai sebagai kearifan lokal.
Begitu pula warga Muslim yang juga harus menghargai makanan berbahan daging babi dari Sumatera Utara atau Sulawesi Utara.
Sebab kuliner di Indonesia sejatinya tak lepas dari tradisi adat dan budaya.
"Di masa tahun 1960-an, ketika Sukarno menyusun buku resep Mustika Rasa, di situlah dipertebal lagi perkataan bahwa rasa saling menghargai antar-masyarakat melalui makanan lokal," ucap Fadly.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.