Thamrin memang mengetahui risiko bekerja menjadi ABK di kapal ikan asing, namun ia tidak pernah mendapatkan sosialisasi terkait aturan perlindungan bagi pekerja ABK.
Berbekal ijazah lulusan SMP, ia mendaftar ke perusahaan perekrut dan penyalur ABK dan ditempatkan di kapal ikan China Dae Sung 216.
Laki-laki asal Brebes ini mengaku tidak diberikan bekal pelatihan oleh perusahaan perekrut dan penyalur di Tegal.
Ia justru diminta membayar uang lebih dari Rp 5.000.000 sebagai pengganti biaya pengurusan dokumen keberangkatan dan jaminan.
Ketika sudah bekerja di atas kapal, ia dipaksa bekerja dengan jam kerja yang berlebihan. Selain itu, menurut dia, fasilitas kesehatan di atas kapal juga tidak memadahi.
Berbulan-bulan tak pernah bersandar, ia kerap mengalami keterlambatan atau penahanan gaji.
Bahkan, saat ia mengalami kecelakaan kerja, asuransi kesehatan juga tidak diberikan dari perusahan perekrutan atau manning agency.
Padahal jaminan kecelakaan kerja ABK tercantum dalam surat perjanjian kerja laut (PKL).
"Sering telat gajinya waktu di kapal. Perjanjian di kontrak tidak sesuai, kalau setelah finish dalam waktu satu bulan uang harus sudah diberikan. Asuransi jaminan kecelakaan kerja juga engga diberikan," kata Thamrin, kepada Kompas.com, pada Rabu (11/5/2022).
Sementara, Febry (22), ABK yang lain, tidak mengetahui risiko bekerja menjadi ABK di kapal ikan asing.
Ia memutuskan bekerja menjadi ABK karena ingin mencari pengalaman berbekal ijazah SMP.
Saat mendaftar ke perusahaan perekrut dan penyalur ABK, ia juga diminta membayar proses pengurusan dokumen mencapai Rp 5.000.000.
Ia memang diberikan bekal pelatihan selama satu bulan. Namun, sayangnya ia tidak mengetahui adanya aturan perlindungan ABK.
Ketika bekerja di kapal ikan China Jin Xiang 18, ia justru mengalami penahanan upah, kondisi kerja dan hidup yang kejam, kekerasan fisik, intimidasi dan ancaman serta jam kerja yang berlebihan.
Ia mengaku, tak mengetahui ke mana harus mengadu ketika mendapat permasalahan tersebut.
Ia hanya bisa berharap gajinya yang masih tertahan oleh perusahaan bisa segera diberikan.
"Saya berangkat 21 November 2019 dan pulang 12 Januari 2022. Sempat ganti kapal tapi perusahaan kapal yang sama. Kita hanya menuntut hak kami para ABK. Saya bingung sudah 4 bulan lebih nganggur, tunggu pelunasan dari kantor enggak ada hasil. Keluarga dan orangtua saya juga butuh makan," ungkap dia.
Baca juga: 1 ABK Kapal Ikan Asal NTT yang Diselamatkan Patroli Australia, Tak Sadarkan Diri Lebih dari 24 Jam
Hasil survei ini juga mengungkap bahwa ABK yang bekerja di kapal ikan asing kerap menjadi korban praktik perbudakan dari mulai proses perekrutan, masa bekerja bahkan hingga kepulangannya.
Hasil survei juga memaparkan adanya 11 indikator kerja paksa yang kerap dialami pekerja migran menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) antara lain penyalahgunaan kerentanan, penipuan, pembatasan ruang gerak, diisolasi, kekerasan fisik dan seksual, intimidasi dan ancaman, penahanan dokumen identitas pribadi, pemotongan upah, jerat utang, pekerjaan dan tempat tinggal yang tidak layak serta jam kerja berlebih.