KOMPAS.com - Musdalifah (10), seorang siswi sekolah dasar negeri (SDN) 002 di Samarinda, Kalimantan Timur, diduga diusir oleh gurunya dari ruang kelas saat ujian sedang berlangsung, Selasa (31/5/2022) lalu.
Ia diusir karena tidak ikut kegiatan belajar mengajar, saat online. Musdalifah tidak ikut belajar daring karena tidak memiliki handphone.
Sebagai informasi, Musdalifah dan adiknya Merlin (9), merupakan piatu, ibunya sudah meninggal dunia, sementara ayahnya di penjara. Mereka tinggal dengan tantenya, Siti Manuwatah (37).
Baca juga: Siswi SD Piatu di Samarinda Diusir Guru dari Kelas karena Tak Punya Ponsel dan Seragam
Lebih kurang setahun berjalan, saat pembelajaran tatap muka dibuka, seragam sekolahnya yang kekecilan. Badannya makin besar sehingga seragamnya sesak. Harus diganti, tapi tantenya tak punya uang.
Hingga akhrinya Musdalifah baru masuk ke sekolah saat ujian. Namun, ia diusir oleh gurunya.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, kejadian ini merupakan cermin buruknya pengelolaan pendidikan dan rendahnya kualitas guru di sekolah.
"Ini jelas merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan menegaskan kesenjangan sosial, juga ketidakadilan dan praktik diskriminasi masih menimpa anak-anak Indonesia," kata Ubaid kepada Kompas.com, Rabu (8/6/2022) malam.
Baca juga: Ayah Dipenjara, Sang Ibu Meninggal Dunia, Ini Kisah Siswi SD yang Diusir Guru Kelas di Samarinda
Kata Ubaid, harusnya guru memberikan pendampingan apabila muridnya tidak hadir saat proses pembelajaran daring.
Ia pun menyebut, pembelajaran bisa dilakukan dengan berbagai alternatif cara disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan.
"Ini juga bagian dari cerita panjang yang memperbesar data kekerasan anak di kala pandemi," ujarnya.
Baca juga: Panggil Kepsek dan Guru yang Usir Siswi SD di Samarinda, Kadis Pendidikan: Guru Itu sampai Menangis
Ubai mengatakan, saat murid itu masuk ke sekolah dengan belajar tatap muka, guru tidak perlu lagi untuk menyuruhnya pulang memanggil orangtua atau walinya.
Bahkan, Ubaid menyebut, apa yang dilakukan guru itu merupakan sikap sewenang-wenang.
"Mestinya guru tahu sejak awal tentang apa yang terjadi dan bagaimana seharusnya dilakukan oleh sekolah," jelasnya.
Baca juga: Kakek 62 Tahun yang Cabuli Bocah 13 Tahun Berulang Kali Akhirnya Ditangkap
Saat ditanya, siswi itu diizinkan ikut ujian lagi tapi sudah dinyatakan tidak naik kelas, Ubaid mengatakan, keputusan itu salah.
"Ini salah besar dikarenakan stereotipe yang buruk dan kebijakan yang diskriminatif. Harusnya pihak sekolah yang diberikan sanksi, bukan siswanya," ungkapnya.
Dalam kejadian itu, kata Ubaid, bukan hanya gurunya saja yang patut diberi sanksi, tetapi kepalanya juganya.
Baca juga: Pria yang Lecehkan Siswi SMA di Sikka Jadi Tersangka, Terancam 15 Tahun Penjara
Sebab, sambungnya telah abai sehingga terjadi kejadian itu.
"Tak hanya guru, tapi kepsek juga harus diberikan sanksi karena telah abai dan melakukan pembiaran atas kejadian diskriminatif ini," ungkapnya.
"Dinas harus tegas dlm pemberian sanksi terhadap pihak2 yg terlibat," sambungnya.
Ubaid menambahkan, agar kejadian serupa tidak terjadi lagi, pemerintah setempat harus tegas memberikan kebijakan afirmasi kepada anak-anak yang selama ini left behind dalam pendidikan, misalnya anak dari keluarga miskin, anak-anak difabel, korban kekerasan dan lainnya.
Baca juga: Kerap Khawatir di Keramaian, Siswi SD Korban Pencabulan di Bandung Barat Didampingi Psikolog
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.