Tetapi, karena terjadi sengketa dengan perusahaan pertama, maka aktivitas tambang berhenti sementara hingga saat ini.
“Jadi sudah berlubang, tapi belum sempat direklamasi,” ujar Lamale.
Warga berharap perusahaan pemegang konsesi segera memenuhi kewajiban mereklamasi lubang bekas tambang batu bara itu. Sebab, selain itu merupakan kewajiban, ada dampak lain yang dirasakan warga akibat kehadiran lubang itu.
Lamale bercerita, lubang bekas tambang itu terkoneksi dengan dua anak Sungai Mentawir di mana anak sungai itu sejak dahulu menjadi sumber air bersih bagi penduduk desa.
Tetapi, sejak ada lubang bekas tambang itu, air anak sungai menjadi tercemar sehingga sejak tahun 2000-an tidak dapat dikonsumsi lagi.
Kepala Adat Suku Paser Sahnan, yang kami temui setelah Lamale, mengungkapkan hal senada.
Suatu hari, ia pernah membuat kolam budi daya ikan. Awalnya, ia mengumpulkan air dari tadah hujan. Beberapa waktu kemudian, ia mengaliri kolam dengan air anak sungai yang terkoneksi dengan lubang bekas tambang.
“Setelah itu ikannya mati semua. Ternyata airnya sudah tercemar dari sana (bekas lubang tambang),” ujar Sahnan.
Ia menambahkan, sejak sumber air bersih tercemar, warga Desa Mentawir mengonsumsi air dari tiga sumber. Untuk mandi, cuci, kakus dari Sungai Mentawir atau anak sungainya yang sudah tercemar.
Sementara untuk konsumsi air minum menggunakan air hasil penyulingan yang dihargai Rp 5.000 per galon.
Kami sempat melihat kondisi air dari anak sungai Mentawir yang ditampung di ember rumah Sahnan. Kondisinya cukup memprihatinkan. Airnya berbau tidak enak, dan berwarna keruh.
Setelah berbincang dengan dua orang tadi, kami pun mencoba mengakses lokasi lubang bekas tambang. Tetapi, karena sulit dijangkau, kami mengakses area itu dengan drone.
Inilah penampakan area tambang yang sudah ditinggalkan itu:
Lubang-lubang bekas tambang batu bara di Kalimantan terhitung banyak sekali jumlahnya. Khusus di wilayah IKN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melaporkan, terdapat 29 ribu hektare lubang bekas tambang.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur Pradarma Rupang mengatakan, persoalan kerusakan lingkungan akibat tambang harus diselesaikan pertama-tama oleh perusahaan pemilik konsesi.