BENGKULU, KOMPAS.com - Pasca-ditangkapnya 40 petani yang menggelar aksi panen massal di tanah sengketa dengan PT Daria Dharma Pratama (DDP) di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu beberapa waktu lalu, para istri dan kuasa hukum saat ini melengkapi berkas penangguhan penahanan.
"Rencananya Rabu 18 Mei 2022, kami akan mengajukan penangguhan penahanan ke Polres Mukomuko. Saat ini para isteri 40 petani itu dibantu kuasa hukum sedang melengkapi persyaratan penangguhan," kata juru bicara petani dari Akar Foundation, Pramasti Ayu Kusdinar, Senin (16/5/2022).
Baca juga: 40 Petani Sawit di Bengkulu Ditangkap, Sederet Tokoh Nasional Siap Jadi Penjamin
Hingga saat ini, 40 petani itu masih ditahan di Mapolres Mukomuko setelah ditetapkam status sebagai tersangka.
Para petani ditetapkan Pasal 363 KUHP dengan ancaman penjara 7 tahun.
Menurut Pramasti, dukungan dari banyak kalangan terus mengalir siap menjadi penjamin penangguhan penahanan.
Sejauh ini terdapat tokoh nasional yang menawarkan diri menjadi penjamin yakni Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika.
Penjamin berikutnya yakni Satyawan Sunito dosen di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (SKPM Fema) IPB. Satyawan juga pernah dipercaya sebagai Kepala Pusat Studi Agraria, IPB.
Muncul juga sebagai pemjamin aktivis nasional, Anwar ‘Sastro’ Ma’ruf, Sekjen Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI).
Berikutnya anggota DPRD Kota Bengkulu, Dedi Yanto. Dukungan sebagai penjamin juga muncul dari forum kepala desa, camat, dan banyak lainnya.
Ditangkapnya 40 petani di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu karena melakukan aksi panen massal di tanah sengketa dengan PT Daria Dharma Pratama (DDP) menyisakan kesedihan mendalam bagi warga dan istri.
Kades Talang Baru, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, Dahri Iskandar, sejak beberapa warganya yang tergabung dalam 40 petani ditangkap Brimob, tulang punggung keluarga diambil alih para istri mencari nafkah.
Bahkan bila mereka dipenjara memungkinkan anak-anak mereka putus sekolah.
"Sekarang tulang punggung keluarga diambil alih para isteri. Mereka gantikan suami berladang, mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Saya berharap masalah ini cepat selesai dengan solusi baik. Kasihan anak-anak mereka," kata Iskandar.
Dikatakan Iskandar, konflik pertanahan dengan perusahaan cukup menguras energi masyarakat dan pemerintah desa.
Sebagai kepala desa ia harus menyampaikan aspirasi warganya ke pemerintah daerah termasuk soal sengketa lahan.