KOMPAS.com - Dawet adalah salah satu minuman menyegarkan yang menjadi salah satu kuliner khas Indonesia.
Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, minuman bercita rasa manis dan gurih ini terdiri dari santan, kinca dan juga adonan tepung beras.
Di Jawa Barat, minuman jenis ini juga dikenal dengan nama cendol. Dari cerita yang berkembang, istilah cendol mungkin sekali berasal dari kata 'jendol' yang ditemukan dalam bahasa Sunda, Jawa dan Indonesia.
Hal ini merujuk dari sensasi jendalan yang dirasakan saat butiran cendol melewati mulut.
Dikutip dari buku Gastronomi Indonesia Jilid 2, jenis cendol dikenal dengan warnanya seperti cendol hijau, putih atau hitam.
Baca juga: Sejarah dan Asal-usul Banjarnegara, Kabupaten yang Terkenal dengan Julukan “Kota Dawet Ayu”
Sementara itu jenis dawet yang terkenal di Jawa salah satunya dawet ayu dari Banjarnegara. Ciri khasnya adalah terdapat simbol Semar dan Gareng di gerobak penjualnya.
Sementara di Kecamatan Butuh, Purworejo terkenal es dawet ireng. Kata ireng berasal dari bahasa Jawa yang artinya hitam.
Warna hitam berasal dari serbuk pembakaran jerami yang dicampur dengan air hingga menghasilkan air hitam untuk pewarna.
Lalu ada dawet gandul ketan khas Pleret yang dicampur dengan bubur sumsun dan grandul atau bola-bola yang terbuat dari tepung ketan dengan rasa kenyal dan gurih.
Ada juga es dawet jabung dari Ponorogo, es dawet Jepara, es dawet Semarangan dan es dawet Siwalan dari Jawa Timur. Serta es dawet telasih dari Solo dan es batil Lamongan yang terbuat dari roti tepung berasm parutan kelapa dan ragi.
Baca juga: Cerita Bu Matun Jualan Dawet Seharga Rp 1.000, Sudah Berdagang sejak Tahun 1987
Pada abad ke-12 di era kerajan Hindu-Budha, daerah Pati sudah maju dalam perdagangan dan pertanian.
Pati terbagi tiga kadipaten yakni Kadipaten Paranggaruda (sekarang wilayah Godo, Kecamatan Winong), Kadipaten Carangsoka (Wedarijaksa) dan Kadipaten Majasem (Desa Mojoagung, Kecamatan Trangkil).
Kala itu pernah terjadi perang besar antara Paranggaruda dan Carangsoka dan berakhir dengan Paranggaruda menjadi bagian Carangsoka di bawah pimpinan Adipati Puspa Andungjaya.
Baca juga: Sensasi Baru Nikmati Dawet Sehat Tanpa Santan
Sang Adipati pun mengangkat Ki Dalang Sapanyana sebagai punggawa Carangsoka. Ia juga menikahkan anaknya, Dewi Rayyngwulan dengan Raden Kembangjaya.
Carangsoka pun tumbuh menjadi kadipaten yang makmur.
Namun Radeng Kembangjaya tetap waspada dari perlawanan kembali Paranggaruda. Ia pun meminta izin kepada mertuanya untuk tinggal di daerah penghubung antara Carangsoka dan Paranggaruda.
Sang Raden kemudian mengaja Dalang Sapanyana untuk menyeberangi Bengawan Siluangga dan melanjutkan perjalanan ke selatan menuju daratan Tanah Jawa yan masih semak belukar.
Mereka kemudian membabat hutan dan menata lahan pemukiman.
Baca juga: 3 Ragam Dawet Legendaris untuk Buka Puasa, Salah Satunya Ada Sejak 1940-an
Kembangjaya pun menggantikan nama Carangsoka dengan Pesantenan yang diambil dari jawaban Ki Sagola yang mengatakan dawt terbuat dari santen (santan).
Raden Kembangjaya beranggapan santan adalah sumber dari kenikmatan minuman dawet.
Tak lama, Kembangjaya memimpin Kerajaan Carangsoka dan menerima warisan Kuluk Kanigara serta Rambut Pinutung dari Raden Sukmayana yang telah meninggal dunia.
Ia kemudian memindahkan pusat pemerintahan Carangsoka ke hutan kemiri dengan nama Kadipaten Pesantenan.
Baca juga: Sejarah Dawet Ayu Banjarnegara
Pemindahan bertepatan dengan berdirinya Kerajaan Majapahit. Sejak saat itu nama Kembangjaya berubah menjadi Adipati Jayakusuma.
Kadipaten Pesantenan berkembang dengan wilayah pertanian yang luas serta memiliki pelabuhan besar di Cajongan.
Kelak daerah pelabuhan ini sekarang menjadi Kota Juwana di sebelah timur Kota Pati.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.