LUMAJANG, KOMPAS.com - Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, mengajarkan tiga semboyan pendidikan. Salah satunya Tut Wuri Handayani.
Yang artinya seorang pendidik harus bisa memberikan dukungan, bimbingan, atau arahan kepada seluruh siswanya.
Dukungan yang dimaksud tidak hanya bersifat moril tapi juga materil. Hal itulah yang dilakukan guru SDN 03 Supiturang, yang dulunya berada di Dusun Curah Kobokan, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Baca juga: Cerita Penyintas Semeru Jalani Ramadhan Perdana di Tempat Pengungsian
Usai diterjang bencana erupsi 4 Desember 2022, seluruh bangunan sekolah hancur lebur.
Jarak sekolah yang hanya berkisar 13 kilometer dari puncak Semeru ditambah dengan keberadaan Curah Kobokan yang tepat berada di jalur aliran lahar Semeru, membuat sekolah ini sangat terdampak.
Nasib tragis pun dialami para siswa SDN 03 Supiturang. Selama sebulan lebih mereka tidak bisa belajar di sekolah, tidak bisa bertemu teman-temannya, dan tidak dapat bertemu guru yang dikasihinya.
Para siswa tersebut sempat dibuatkan sekolah darurat berupa tenda sederhana di Dusun Watu Kandang, Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Namun kemudian dipindahkan ke kawasan hutan bambu.
"Kalau yang disana (Watu Kandang) itu kan lahannya warga, sering dibuat jemur padi juga, apalagi panas, dan cukup bahaya karena mepet jalan raya," kata Maryoto, Kepala SDN 03 Supiturang.
Lokasi baru di kawasan hutan bambu ini lebih fresh dan layak untuk belajar. Terdapat 6 buah rumah panggung berbentuk prisma yang disediakan untuk 72 siswa kelas 1-6.
Semuanya terbuat dari bambu dan bahan alam yang berada di sekitar lokasi. Meski sederhana, bangunan semi permanen ini nampak elegan dan nyaman.
Ditopang dengan suasana alam yang sejuk karena letak sekolah tepat di sebelah barat taman wisata hutan bambu Lumajang.
Baca juga: Ngabuburit ala Penyintas Cilik Semeru, Mengaji di Tenda Pengungsian
Selain suara hembusan angin yang melewati celah bambu, siswa juga terhibur dengan kehadiran beberapa kera kecil yang hidup di hutan bambu.
Kera-kera tersebut tidak menyerang para siswa yang sedang belajar. Terkadang kera-kera kecil itu duduk di depan pintu maupun jendela sambil mengamati sang guru mengajar seakan ikut belajar bersama.
"Senang di sini, tempatnya enak, kelasnya gak campur lagi, terus kalau istirahat bisa lihat kera, tapi gak ada kamar mandi," beber Mulyadi, siswa kelas 4 SDN 03 Supiturang.
Karena itu, pihak sekolah bersama relawan mengusahakan kepada Pemerintah Kabupaten Lumajang untuk memfasilitasi kamar mandi agar para siswa tidak perlu menumpang ke rumah warga sekitar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.