LABUAN BAJO, KOMPAS.com - Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi salah satu wilayah yang masuk zona merah stunting karena angka stuntingnya masih di atas 30 persen.
Untuk menekan angka stunting, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manggarai Barat melakukan sejumlah upaya.
Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan (Bapelitbang) Kabupaten Manggarai Barat, Petrus Antonius Rasyid mengatakan, persoalan stunting diintervensi melalui dua pendekatan yakni 30 persen pendekatan kesehatan dan 70 persen non kesehatan.
Baca juga: Perjuangan Camat di Pelosok NTT Menekan Stunting, Pantau Langsung dari Rumah ke Rumah
Pendekatan kesehatan yang dilakukan antara lain, penimbangan, pemberian makanan tambahan, telur, dan juga unggas.
Sementara untuk non kesehatan berupa sanitasi seperti pola hidup, pola makan, dan tidak buang air besar sembarangan.
"Pendekatan kesehatan ini untuk jangka pendek. Ketika diberi makan tambahan beberapa bulan, hasilnya bisa dilihat, pasti ada penurunan stunting," kata Petrus saat diwawancara Kompas.com di ruang kerjanya, Senin (4/4/2022).
Sedangkan untuk non kesehatan, kata dia, butuh waktu yang lebih lama mengukurnya.
Baca juga: Bencana Tanah Bergerak di Manggarai Barat, Sejumlah Warga Mengungsi karena Rumah Rusak
Petrus menjelaskan, banyak faktor yang menyebabkan anak mengalami stunting. Salah satunya adalah pola asuh, khususnya dalam hal makanan.
Menurutnya, anak yang tak makan daging tak lantas menderita stunting. Sebab, stunting bukan hanya faktor nutrisi melainkan juga harus bergizi dan berimbang.
"Buktinya, di kota yang ekonominya bagus, masih ada yang sunting. Artinya, bukan soal makan daging, tetapi lebih banyak karena pola makan," terang dia.
Penyebab lain, kata dia, orang pada umumnya masih menganggap stunting bukan persoalan yang harus dicemaskan.
Tubuh yang kecil atau pendek kerap dianggap sebagai kondisi yang memang harus diterima.
Padahal, menurutnya, hal itu sangat berpengaruh bagi masa depan anak.
"Mereka tidak bisa bersaing di dunia pendidikan, di dunia kerja. Dampaknya dia tidak bisa mendapatkan uang. Belum lagi dia berkeluarga. Dampak lanjutannya menghasilkan generasi stunting berikutnya," katanya.
Baca juga: Stunting di Ende NTT karena Anak Kurang Asupan Gizi
Petrus menegaskan bahwa penanganan stunting harus mulai dari sedini mungkin, seperti edukasi kepada pasangan yang hendak menikah, pemberian makan tambahan bagi ibu hamil dan balita, dan pemberian tablet tambah darah bagi remaja putri.