SUMATERA Barat kembali dikejutkan. Tim Detasemen Khusus (Densus) Antiteror Mabes Polri menangkap 16 orang terduga teroris di beberapa kabupaten di wilayah Sumbar; Tanah Datar, Payakumbuh dan Dharmasraya.
Para tersangka diduga terlibat dalam jaringan Negara Islam Indonesia (NII).
Setelah peristiwa penangkapan tersebut, Sumatera Barat kembali memenuhi media nasional dalam artian yang tidak mengembirakan.
Gerakan terorisme kali ini sudah mulai berkembang. Mereka tidak hanya pada tingkatan pengajian dan rekrutmen, tapi sudah mulai melakukan baiat dan pelatihan pramilter.
Dari indentifikasi awal, tersangka memiliki keinginan untuk mengubah ideologi Pancasila dengan “Islam yang kaffah” dan memiliki niat untuk menggulingkan pemerintah yang sah apabila NKRI sedang dalam keadaan kacau.
Baca juga: Densus 88 Tangkap 16 Terduga Teroris di Tiga Wilayah Sumbar
Dalam perekrutan anggota secara masif, kelompok ini bahkan sudah melibatkan anak-anak.
Latar belakang profesi terduga di antaranya petani, pedagang, pemilik bengkel sepeda, tukang sablon hingga mantan tenaga honorer Satpol PP (Kompas.com, Detik.com dan Inews.id).
Penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 di Sumbar tidak kali ini saja. Pada tahun-tahun sebelumnya juga sudah terjadi.
Tercatat selama Juli 2022 ada 9 orang terduga teroris yang berafiliasi ke Jamaah Ansharut Daulah (JAD)d i tanggkap.
Pertanyaannya adalah apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Apa yang melatari mulai berkembangnya faham terorisme di Sumbar?
Apakah Sumbar sudah menjadi (dijadikan) lahan tumbuh dan berkembangnya faham terorisme?
Apakah para aktor intelektual kelompok teroris itu berasal dari atau luar Sumbar, atau Sumbar dianggap secara sosioreligius cocok jadi persemaian ideologi ekstremisme dan radikalisme yang puncaknya adalah terorisme.
Apalagi dari banyak tersangka dan juga kasus-kasus sebelumnya melibatkan anak-anak muda.
Dan pertanyaan yang menukik adalah kenapa banyak ulama dan elite lainya berdiam diri dengan peristiwa ini?
Sederet pertanyaan yang merisaukan tersebut membentang luas untuk segera dijawab.
Banyak kemungkinan untuk menjawab kerisauan tersebut. Pertama, mungkin sebagian orang Sumbar mengalami problem psikologis atau problem sosiologis di level mikro yang menyebabkan guncangan-guncangan dalam keyakinan yang dianut sebelumnya.
Contohnya diperlakukan diskriminatif, krisis sosial ekonomi, di(ter)asingkan, dan mengalami represi politik baik secara simbolik atau faktual, yang menyebabkan mereka sangat terbuka (cognitive opening) dengan gagasan baru yang lebih ekstrem dan radikal sebagaimana yang Wiktorowicz (2005) kupas dalam teorinya?
Kedua, ataukah ini fase berulang, cara-cara kekerasan menjadi jalan keluar dalam menyelesaikan masalah sebagaimana yang termaktub dalam sejarah Sumatera Barat?
Ketiga, atau Sumbar mencoba kembali peruntungannya dengan upaya menegasikan cara pusat atau Jakarta yang sudah memperlakukan masyarakat secara tidak adil, tidak demokrasi, tidak humanis dan sebagainya dengan cara yang berbeda dengan sebelumnya (baca PRRI)?