KOMPAS.com - Masi Jami atau yang dikenal juga sebagai Masjid Sultan Syarif Abdurrahman merupakan masjid tertua dan terbesar di Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.
Masjid juga merupakan salah satu bangunan yang menjadi saksi berdirinya Kota Pontianak pada tahun 1771.
Seperti halnya Istana Kadriah, masjid merupakan peninggalan Kerajaan Pontianak yang terletak di Kampung Dalam Bugis, Pontianak.
Awalnya, masjid merupakan langgar sederhana.
Menurut hikayat, masjid mulai dibangun pada masa kepemimpinan Sultan Syarif Usman. Ia adalah sultan ketiga Kesultanan Pontianak.
Syarif Abdurrahman Alkadrie merupakan pendiri Masjid Jami Pontianak sekaligus pendiri Kota Pontianak. Ia merupakan keturunan Arab, seorang penyebar agama Islam dari Jawa.
Syarif Abdurrahamn melakukan perjalanan dari Mempawah dengan menyusuri Sungai Kapuas.
Baca juga: Mengenal 8 Tipe Masjid dan Beda Masjid Raya, Masjid Agung, dan Masjid Jami
Pada tanggal 23 Oktober 1771, Abdurrahman dan rombongan sampai di persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak.
Mereka membuka hutan yang tidak jauh dari dari muara sungai itu untuk kawasan pemukiman baru.
Abdurrahman membangun sebuah kerajaan baru di Pontianak, ia juga membangun masjid dan istana untuk sultan.
Aslinya, masjid beratap rumpia dan konstruksi kayu, pembangunan masjid belum terselesaikan karena Abdurrahman meninggal pada 1808 Masehi.
Saat meninggal, putranya yang bernama Syarif Usman masih kanak-kanak dan belum dapat meneruskan pemerintahan. Maka, pemerintahan sementara dipegang adik Syarif Abdurrahman yang bernama Syarif Kasim.
Setelah Syarif Usman dewasa, ia mengganti pamannya sebagai Sultan Pontianak, pada 1822 sampai 1855 Masehi.
Baca juga: Menikmati Keindahan Kota Muntok dari Masjid Jami
Syarif Usman melanjutkan pembangunan masjid yang kemudian diberi nama Masjid Abdurrahman, sebagai penghormatan dan mengenang jasa ayahnya. Syarif Abdurrahman Alkadrie merupakan sultan pertama di Kesultanan Pontianak.
Masjid Jami Pontianak mampu menampung kurang lebih 1.500 jamaah. Masjid akan penuh terisi jamaah shalat, saat salat Jumat dan shalat terawih Ramadhan.
Secara keseluruhan bangunan masjid mendapat pengaruh dari arsitektur Jawa, Timur Tengah, Melayu, dan Eropa.
Terlihat dari, bentuk atap undak layaknya tajug pada arsitektur Jawa serta bentuk mahkota atau genta khas Eropa di bagian ujungnya.
Pengaruh Eropa lain terlihat dari pintu dan jendela masjid yang cukup besar. Sedangkan, ciri Timur Tangah terlihat pada mimbar yang berbentuk kubah.
Pengaruh bangunan Melayu terdapat pada masjid yang berbentuk rumah kolong atau rumah panggung.
Lantai masjid diberi jarak sekitar satu setengah meter dari permukaan tanah.
Sehingga, walaupun masjid berada di atas Sungai Kapuas, masjid tidak khawatir terkena banjir.
Saat ini, bagian kolong di cor untuk mengantisipasi amblas, mengingat tanah yang labil karena sebagian bergambut.
Matrial konstruksi bangunan berasal dari kayu belian. Kayu digunakan untuk pagar, lantai, dinding, menara, beduk besar, enam tiang utama penyangga masjid yang telah berusia 170 tahun.
Kini masjid berdiri kokoh dengan tampilan lama yang tidak berubah demi menjaga eksistensi sejarah.
Sumber:
p2k.unhamzah.ac.id
duniamasjid.islamic-center.or.id
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.