SEMARANG, KOMPAS.com - Kampung Bustaman di Kecamatan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, memiliki tradisi unik menjelang Ramadhan.
Masyarakat saling melempar air setelah mendengar 5 kali pukulan kentongan dari masjid.
Mereka menamai tradisi ini dengan sebutan gebyuran bustaman.
Dalam sejarahnya, keyakinan tersebut datang dari kebiasaan Kiai Kertoboso Busman yang dulunya sering memandikan cucunya menjelang Ramadhan.
Baca juga: Minyak Goreng Curah di Semarang Masih Jadi Barang Langka, Pembeli Harus Bawa KTP
Lantas, hal itu dipercaya warga setempat sebagai simbol untuk menyucikan diri, agar bersih dari dosa-dosa sebelum berpuasa.
Tradisi gebyuran tersebut sudah ada sejak tahun 1743. Sehingga untuk menghormati leluhur Kampung Bustaman, sejak tahun 2013, masyarakat setempat bersama Kolektif Hysteria, sebuah komunitas seni di Kota Semarang, menyelenggarakan kegiatan gebyuran yang masih bertahan hingga sekarang.
Diceritakan oleh Ketua Panitia Gebyuran Bustaman, Aprodita Syams Azizah, gebyuran bustaman memiliki rangkaian acara yang berbeda di setiap tahunnya.
Uniknya, pada tahun 2022 ini dirayakan dengan lebih istimewa.
Sebab, terkuak bahwa ada makam seorang sesepuh kampung di dekat rumah warga, bernama Sayyid Abdullah.
Bahkan, dulunya makam tersebut sudah tercampur dengan ruangan rumah seorang warga.
“Namun, sekarang sudah berbentuk makam, dan seluruh warga Bustaman mengadakan pengajian di sana,” ucap Dita kepada Kompas.com.
Rangkaian kegiatan gebyuran bustaman tahun ini diadakan secara bertahap pada 17, 24, 25, dan 27 Maret 2022, meliputi pembacaan arwah jamak, malam nifsu sya’ban, pengajian makam Sayyid Abdullah, ziarah, ritual gebyuran bustaman, hingga perang air.
Pada puncak kegiatan, juga terdapat kegiatan lain seperti temu mitra pekakota yang mendiskusikan masa depan kampung kota, penampilan musik dari beberapa band Semarang, arak-arakan warga, hingga ritual gebyuran bustaman.
Dalam ritualnya sendiri, dimulai dari penyerahan kendi yang diisi air dari sumur yang kononnya dibuat oleh Kiai Bustam 279 tahun lalu.
Kemudian, kendi tersebut diarak seluruh warga sampai depan masjid.
Sesampainya di masjid, warga kampung berdoa bersama-sama, kemudian kendi disiramkan ke 5 anak, yang terdiri dari 3 laki-laki dan 2 perempuan.
Uniknya, 5 anak tersebut sengaja dicoret wajahnya dengan pewarna merah, hijau, dan biru, serta memakai kaos putih.
Pewarna tersebut diibaratkan sebagai dosa-dosa hidup, sedangkan kaos putih sebagai lambang kesucian.
Maka untuk menyucikan diri, 5 anak tersebut disiram air dari kendi tadi.
“Setelah melakukan ritual, baru warga bisa mulai perang air. Tidak ada yang marah-marah jika dilempari air, malah justru ini hal yang paling seru,” ujar Dita.
Anak-anak hingga orang dewasa bersorak sorai saling melempar bungkusan air berwarna-warni.