SAMARINDA, KOMPAS.com – Rania (57) kaget saat petugas datang dengan pengawalan ketat polisi mematok batas kawasan inti pusat pemerintahan (KIPP) ibu kota negara (IKN) di samping rumah akhir Februari lalu.
Warga RT 10 Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kalimantan Timur (Kaltim) hanya terdiam. Awalnya dia tak tahu patok itu IKN. Dia baru tahu setelah baca tulisan pada papan plang "batas kawasan inti pusat pemerintah dilarang merusak”.
“Mereka datang langsung matok, tek tek tek (meniru bunyi ketukan saat mematok) langsung pergi. Baru saya baca plang, oh IKN,” kata dia saat ditemui Kompas.com di kediamannya, Sabtu (19/3/2022).
Baca juga: Jadi Penyangga Pangan IKN, Akan Ada 100.000 Hektar Sawah Baru di Tanah Bumbu Kalsel
Ibu dua anak ini mengaku tak mendapat pemberitahuan sebelum pematokan itu dilakukan, baik dari RT maupun lurah. Dia lalu bertanya ke RT. Penjelasan RT, kata dia, patok itu batas KIPP.
“Kata bu RT, nanti ada penjelasan dari lurah. Tapi sampai sekarang belum ada penjelasan,” tutur dia.
Kendati begitu, Rania tidak mempermasalahkan pematokan tersebut. Dia mendukung penuh IKN, asal pembangunan nanti, tak menggusur bangunan dan lahan miliknya.
Rania dan suaminya memiliki lahan seluas 18 x 50 meter dengan status segel. Di atas lahan itu berdiri, satu bangunan rumah, warung sembako ukuran kecil, sisanya dijadikan kebun.
Kebun persis di belakang rumahnya, ada tanaman rambutan, mangga, cempedak, karet, hingga kelapa sawit.
Dia bilang jika pembangunan IKN berdampak ke tanahnya, maka dia meminta ganti rugi bangunan rumah, kebun dan warung sembako sebagaimana yang dia miliki saat ini.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Skema untuk Tarik Investor Proyek IKN Nusantara, Seperti Apa?
“Kalau hanya diberi rumah aja, mau makan pakai apa. Harus ada tempat usaha dan kebun, baru saya bisa angkat kaki,” kata dia.
Sebagai warga suku asli Paser, Rania ingin hidup tenang di tanah kelahirannya. Karena itu, dia meminta agar pembangunan IKN tak merampas hak masyarakat lokal.
“Ada IKN kita bersyukur, ramai. Tapi kita jangan ganggu kami, jangan gusur kami. Kalau membangun silahkan. Kami tinggal di sini sejak nenek moyang kami, saya mau mati di sini, kakek moyang kami lahirkan kami di sini," pungkas dia.
Warga lain, Yati Dahlia juga mengaku tak dapat pemberitahuan. Dia tidak melarang pemindahan IKN ke Sepaku. Namun, ia berharap pembangunan IKN bisa lebih partisipasif.
"Kami nggak ada pemberitahuann. Enggak ada diajak bicara. Kami enggak dipanggil koordinasi masalah itu. Lahan kami ikut kena," kata dia.
Baca juga: Wakil Kepala Otorita IKN: Kami Ingin Buat Keajaiban Tanpa Langgar Aturan
"Kita nggak melarang cuma diundanglah biar kami tahu. Kami ingin semua orang di sini dilindungi. Sebelum ada perusahaan, orangtua saya sudah di sini," tambah dia.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.