KOMPAS.com - Aksi pawang hujan dalam gelaran MotoGP Mandalika, Minggu (20/3/2022), menjadi perbincangan.
Dalam sorotan kamera, pawang hujan bernama Rara Istiani Wulandari itu berjalan tanpa alas kaki sambil membawa beberapa perlengkapan ritual.
Ritual itu dilakukannya di area pit lane Sirkuit Mandalika.
Rara melakukan aksinya saat hujan mengguyur sirkuit. Hujan deras menyebabkan jadwal balapan MotoGP tertunda.
Aksi sang pawang hujan lantas menjadi trending topic di Twitter pada Minggu.
Baca juga: Mbak Rara, Sang Pawang Hujan MotoGP Mandalika, Ternyata Sering Mengawal Acara Kenegaraan
Perdebatan pun muncul di kalangan netizen. Ada yang mengatakan bahwa pawang hujan adalah kearifan lokal, tetapi ada pula yang menyebutkan bahwa itu adalah klenik.
Terkait dengan komentar netizen tersebut, pengamat budaya dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Andrik Purwasito, memberikan pandangannya.
Menurutnya, masyarakat tak usah saling mempertentangkan dua hal tersebut.
“Tak usah dipertentangkan antara satu dengan lainnya,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com lewat Zoom, Senin (21/3/2022).
Baca juga: Heboh Aksi Pawang Hujan MotoGP Mandalika, Pengamat: Itu Bentuk Ikhtiar Saja
Andrik menuturkan, pawang hujan merupakan profesi yang ada sejak lama. Saat bertugas, pawang hujan merapal doa-doa.
“Doa-doanya ya macam-macam. Intinya memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa,” ucapnya.
Pawang hujan, kata Andrik, berasal dari ajaran nenek moyang, yang mana telah menjadi tradisi dan kearifan lokal, terutama di Indonesia.
Dalam tradisi tersebut dipercayai bahwa pada setiap fenomena alam ada sosok-sosok yang mengawal.
“Bahwa sesungguhnya fenomena alam ada yang mengawal dan memimpin. Termasuk hama, angin, hujan, mendung, semua itu ada yang menjaga, dan yang menjaga itu bisa berganti-berganti,” papar Kepala Program Studi S-3 Kajian Budaya UNS ini.
Baca juga: Pebalap MotoGP Dibikin Heboh oleh Aksi Pawang Hujan, Pengamat: Tradisi Itu Eksklusif
Ketika berdoa, pawang hujan memohon kepada Tuhan agar bisa berkomunikasi dengan sosok yang menjaga angin, hujan, dan mendung.
“Di dunia ini, semua tempat ada yang menjaga, dijaga oleh Allah dan makhluk Allah,” tuturnya.
Andrik menerangkan, kepercayaan dan keyakinan tersebut seharusnya tak dipertentangkan.
“Apa yang mereka percayai dan yakini ya ndak papa karena itu tidak melanggar apa-apa,” sebutnya.
Baca juga: Mbak Rara, Sosok Pawang Hujan di Sirkuit Mandalika
Guru besar bidang Ilmu Komunikasi Lintas Budaya di UNS Surakarta ini menyampaikan, karena pawang hujan beririsan dengan sesuatu yang bersifat gaib, hal itu memicu perdebatan.
Andrik berpandangan, orang-orang yang skeptis terhadap pawang hujan sebenarnya juga boleh-boleh saja.
“Ya ndak papa, wong mereka ndak paham. Ini seperti kasus wayang. Ada yang bilang wayang harus dihapuskan. Ini sebenarnya hanya instrumen saja,” ungkapnya.
Baca juga: 5 Fakta Menarik MotoGP Mandalika, dari Aksi Rara si Pawang Hujan hingga Dedikasi Juara untuk Risman
“Pawang merupakan sebuah usaha atau ikhtiar saja yang tidak dapat dipastikan kehebatan hasilnya. Karena bagaimana pun, ada kekuatan lain di atas kita yang mengatur,” jelasnya.
Baca juga: Rara Si Pawang Hujan Sempat Dilarang Dorna untuk Masuk ke Lintasan
Oleh karena itu ketika gelaran MotoGP Mandalika, tak hanya pawang hujan yang bekerja untuk memodifikasi cuaca.
“Di sana kan juga ada pesawat yang dikendalikan oleh BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) supaya mengurangi entitas mendung. Itu ya ikhtiar juga. Dua-duanya merupakan ikhtiar manusia,” tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.