Hal ini membuat pemerintah merasakan munculnya ancaman baru, yang kemudian menjadi alasan ditetapkannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Pembakaran desa-desa yang diduga menampung anggota GAM dibakar, dan militer Indonesia menculik dan menyiksa anggota tersangka tanpa proses hukum yang jelas.
Diyakini terjadi setidaknya 7.000 pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selama pemberlakuan DOM di Aceh.
Lengsernya pemerintahan Orde Baru dengan mundurnya Presiden Soeharto dari jabatan presiden memberi peluang bagi GAM membangun kembali kelompok mereka.
Presiden BJ Habibie pada 7 Agustus 1998 mencabut status DOM dan memutuskan menarik pasukan dari Aceh yang justru memberi ruang bagi GAM untuk mempersiapkan serangan berikutnya.
Pada 2002 kekuatan militer dan polisi di Aceh semakin berkembang dengan jumlah pasukan menjadi sekitar 30.000.
Setahun setelahnya, jumlah pasukan semakin meningkat hingga menyentuh angka 50.000 personil.
Bersamaan dengan hal tersebut, terjadi juga berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh milisi GAM yang mengakibatkan jatuhnya ribuan korban dari pihak sipil.
Masyarakat Aceh akan mengingat kejadian di tanggal 19 Mei 2003 di mana Aceh dinyatakan sebagai daerah dengan status darurat militer.
Hal ini dilakukan setelah Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003 tentang Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berlaku mulai Senin (19/5/2003) pukul 00.00 WIB.
Adapun usaha pemerintah yang ditempuh melalui kekuatan militer di Aceh juga mulai terlihat hasilnya pada tahun 2003.
Gempa bumi yang menimpa wilayah Sumatera termasuk aceh pada 26 Desember 2004 memaksa kedua pihak yang bertikai untuk duduk bersama di meja perundingan, dengan inisiasi dan mediasi oleh pihak internasional.
Hal ini juga menjadi permulaan usaha GAM untuk menuntut kemerdekaan Aceh melalui jalur-jalur diplomatik.
Pihak pemerintah Indonesia dan GAM pada 27 Februari 2005 bersama-sama memulai langkah perundingan dengan melakukan pertemuan di Finlandia.