Di dalam prosesi upacara kematian, kendi biasa digunakan sebagai tanda atau simbol keikhlasan keluarga terhadap seseorang yang meninggal
Kendi digunakan sebagai bekal kubur yang diletakkan di atas liang lahat.
Selain itu, ritual penggunaan kendi sebagai simbol dalam upacara kematian juga bisa dilihat pada saat jenazah akan diberangkatkan. Kendi yang berisi air akan dipecahkan dan disusul dengan keberangkatan jenazah ke tempat penguburan.
Ada kepercayaan bahwa upacara tersebut dilakukan agar roh seseorang yang meninggal tersebut tidak membawa sesuatu yang bersifat negatif pada anggota keluarga lain
Sampai saat ini ada budaya yang memecahkan kendi bagi ibu hamil yang kebetulan rumahnya dilewati arak-arakan prosesi pemakaman jenazah sebagai bentk tolak bala.
Harapannya agar ibu dan bayi yang dikandung tidak terkena hal-hal bersifat negatif dari prosesi penguburan jenazah.
Baca juga: Tradisi Makepung di Jembrana, Bali, Sejarah, Makna, dan Tujuan
Siraman dilakukan untuk memandikan calon pengantin dengan niatan untuk membersihkan badan supaya bersih lahir dan batin.
Acara siraman dilakukan oleh tujuh orang dan akan diakhiri oleh juru paes atau sesepuh dengan diikuti memecah kendi. Prosesi memecah kendi merupakan prosesi terakhir dalam upacara siraman.
Kendi yang digunakan dalam prosesi ini dibungkus dengan untaian bunga melati yang sangat indah.
Baca juga: Peresean, Tradisi Pertarungan Dua Prajurit yang Berasal dari Adat Suku Sasak di Lombok
Sebanyak 70 kendi berisi air suci yang diambil ratusan biksu disemayamkan di Candi Mendut.
Air suci itu diambil dari i mata air Umbul Jumprit, Desa Tegalrejo, Ngadirejo Temanggung. Umat Budha percaya bahwa air suci dalam kendi tersebut mempunyai banyak manfaat yang positif, seperti menyembuhkan penyakit dan bisa mendatangkan kebahagiaan.
Para pengikut upacara itu melakukan ritual mengelilingi lantai atas Candi Mendut sebanyak tiga kali dengan membawa kendi.
Air suci dalam kendi tersebut kemudian dibawa ke dalam relung Candi Mendut yang menjadi singgasana arca Budha. Di dalam candi yang dibangun pada masa Raja Indra dari Wangsa Shailendra tersebut umat Budha menyalakan lilin dan membaca parita.
Baca juga: Melihat Tradisi Makan Bersama Petani di Kulon Progo, Wujud Syukur Melimpahnya Panen