Namun kondusifitas itu terusik dengan kedatangan Inggris di wilayah Palembang.
Awalnya Inggris masuk ke wilayah Bangka seiring dengan ditemukannya timah di daerah tersebut.
Rupanya, Bangka tidak menjadi tujuan akhir. Inggris justru mengincar Palembang untuk dikuasai.
Adapun orang Inggris yang berhadapan langsung dengan Sultan Mahmud Badaruddin II adalah Sir Thomas Stamford Raffles.
Dalam catatannya, Raffles mengaku sangat hormat kepada Sultan namun juga khawatir.
Raffles menyebutkan, Sultan Mahmud Badaruddin IIadalah seorang penguasa kaya yang gudangnya dipenuhi dolar dan emas.
Awalnya Raffles membujuk Sultan Mahmud Badaruddin II agar mau memihak Inggris dalam berseteru dengan Belanda.
Namun, Sultan Mahmud Badaruddin II dengan menolak dan enggan terlibat dalam perseteruan itu.
Pada tanggal 14 September 1811 terjadi peristiwa yang mengubah kondisi di Kesultanan Palembang.
Kantor dagang Belanda di Sungai Alur hangus terbakar. Belanda menuding Inggris sebagai aktof pembakaran itu.
Inggris membantah. Tak hanya itu, Inggris malah menuding Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai aktor pembakaran.
Meski begitu, Raffles masih berusaha berunding dengan Sultan. Raffles berharap bisa mendapatan daerah Bangka sebagai kompensasi.
Penawaran itu ditolak oleh Sultan. Inggris lantas mengirim pasukan yang berhasil merebut Palembang.
Sultan Mahmud Badaruddin II sendiri kala itu harus mengungsi ke Muara Rawas, yaitu di hulu Sungai Musi.
Awalnya Inggris mengangkat adik kandung Sultan Mahmud Badaruddin II untuk berkuasa di Palembang.
Inggris juga berhasil mendapatkan hak untuk menguasai Bangka.
Namun pada 13 Juli 1813 terjadi perundingan antara Inggris dan Sultan. Dalam perundingan itu, Sultan bisa kembali berkuasa di Palemabang.
Pada tahun 1814, terjadi kesepakatan antara Inggris dan Belanda dalam Konvensi London.
Akibatnya, Inggris harus menyerahkan wilayah Indonesia yang diduduki kepada Belanda, termasuk Bangka dan Palembang.