Sedangkan pada masa Mataram Islam, wilayah Blora termasuk dalam daerah Bang Wetan.
Pada masa pemerintahan Pakubuwana I, Blora diserahkan kepada puteranya bernama Pangeran Blitar.
Pangeran Blitar yang kemudian diberi gelar Adipati itu mengelola Blora dengan luas 3.000 karya atau 3.000 hektare.
Sedangkan bentuk Blora seperti saat ini dimulai pada tahun 1749, atau saat pemberontakan Pangeran Mangkubumi terhadap Mataram Islam.
Mangkubumi mengklaim tahta pada tanggal 11 Desember 1749 dengan kekuasaan meliputi Sukawati, Grobogan, Demak, Blora dan Yogyakarta.
Setelah itu, Mangkubumi juga mengangkat penguasa-penguasa untuk wilayah-wilayah tersebut.
Blora saat itu diserahkan kepada Tumenggung Wilatikta dan tercatat sebagai Bupati Blora pertama.
Pemberontakan Mangkubumi ini berakhir dengan Perjanjian Giyanti yang memecah Mataram Islam menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Dalam perjanjian itu, wilayah Blora masuk dalam kekuasaan Kasunanan Surakarta.
Kabupaten Blora memiliki beberapa julukan, seperti Kota Sate, Kota Barongan, Kota Sampin, hingga Kota Kayu Jati.
Julukan Kabupaten Blora Kota Sate karena wilayah ini memiliki olahan sate dengan bumbu khas Blora.
Selain bumbunya yang khas, Sate Blora juga disajikan dengan cara yang berbeda dari sate lain.
Sate Blora disajikan dengan nasi yang diberi kuah por berwarna kuning dengn ditaburi bawang goreng.
Selain itu, nasi kuah opor ini diletakkan di pincuk atau wadah dari daun jati yang khas.
Keunikan Sate Blora juga bisa ditemukan saat makan di tempat atau di warung satenya.