Usai gempa itu, Siir panik karena anaknya kabur entah ke mana, ditambah lagi suaminya masih berada di kebun.
Tak lama setelah gempa berhenti, suami dan anak-anaknya akhirnya pulang dengan selamat.
Mereka berkumpul menyaksikan rumahya hancur. Tak ada satupun barang-barang yang bisa diselamatkan selain pakaian di badan.
Siir mengatakan, sudah empat hari mengungsi di posko pengungsian di Kantor Camat Tigo Nagari. Jarak rumahnya dari posko sekitar 10 kilometer.
Sedangkan suaminya mengungsi di tenda darurat depan rumahnya.
"Saya dan anak-anak ngungsi ke kantor camat. Kalau suami buat tenda depan rumah. Sejak gempa, baru hari ini balik ke sini lagi lihat kondisi rumah. Sorenya saya balik lagi ke posko," ujar Siir.
Siir merasa badannya bergetar melihat rumahnya yang roboh. Ia nelangsa.
Air matanya pun seketika tumpah, mengingat sebentar lagi masuk bulan puasa ramadhan.
"Rumah untuk dihuni sudah tak punya, sebentar lagi mau puasa, mau lebaran," ucap Siir menangis.
Siir menangis hingga sesegukan. Air matanya mengalir deras hingga membahasi jilbabnya.
"Sejak kecil baru kali ini merasakan (gempa) seperti ini. Tak punya rumah amak lagi, nak," imbuh Siir sambil sesekali menyeka air mata dengan jilbabnya.
Ia tak tahu sampai kapan akan hidup di dalam tenda pengungsian itu. Begitu pun untuk membangun rumah baru, Siir mengaku tak ada biaya.
Siir kini masih merasa trauma mengingat gempa bumi yang disusul longsor Gunung Pasaman.
"Gempa sangat kuat. Habis itu datang lagi galodo (longsor). Suara longsor membuat kampung ini bergetar kuat. Sekarang ini saya berjalan terasa tanah masih bergoyang. Dengar suara keras saja saya langsung terkejut," akui Siir.
Tak lama kemudian, suami Siir, Nasir, datang ke tenda. Ia tampak langsung mengambil bungkusan nasi untuk makan.