Sayangnya, Kwik Djoen Eng tinggal di istananya hanya sampai tahun 1940.
Karena krisis ekonomi yang melanda dunia pada tahun 1930-an, perusahaan Kwik Djoen Eng bangkrut dan terlilit hutang. Untuk melunasi hutangnya, seluruh kompleksnya yang berada di Salatiga disita oleh Javaache Bank.
Ada juga cerita yang menyebut Kwik Djoen Eng meninggal pada saat perjalanannya pulang ke kampung halamannya di Taiwan.
Pada 1940, gereja Katolik dari kongregasi Fratres Immaculate Conceptions atau FIC didesak oleh Uskup Semarang untuk membeli kompleks Djoen Eng yang ditawarkan oleh Javache Bank dengan harga rendah dan membiarkan bagunan tersebut kosong sementara.
Baca juga: Sejarah dan Asal-usul Sumenep, Kabupaten Berjuluk “The Soul of Madura”
Saat tentara Jepang masuk ke Salatiga, bangunan kosong tersebut dipinjam oleh Gubernemen Hindia Belanda untuk digunakan menjadi kamp interniran bangsa Belanda.
Tak hanya itu Gedung Djoen Eng sempat dijadikan markas polisi dan tentara Indonesia pada tahun 1945. Kemudian tahun 1946-1949 dijadikan tangsi tentara Belanda.
Pada bulan Mei tahun 1949, Bruder-bruder FIC mulai menempatinya.
Bagian belakang gedung digunakan untuk Sekolah Menengah Pertama atau SMP hingga tahun 1974 dan gedung utama digunakan untuk Bruderan dan asrama anak-anak SMP sampai tahun 1966.
Baca juga: Sejarah dan Asal-usul Banjarnegara, Kabupaten yang Terkenal dengan Julukan “Kota Dawet Ayu”
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.