Sejak 2021, Konsorsium Bentang Alam Seblat, yang merupakan kerja kolaboratif tiga lembaga non-pemerintah, yakni Yayasan Kanopi Indonesia, Yayasan Genesis dan Lingkar Inisiatif, menemukan bahwa kondisi itu ditengarai oleh lemahnya pengawasan negara terhadap kawasan yang hendak dijadikan jalur penghubung para gajah sumatera.
"Impilikasi dari inilah yang kini membuat 'benteng terakhir' para gajah sumatera kini makin terdesak," kata Ali.
Penyelamatan populasi gajah sumatera dan perlindungan habitatnya menjadi hal mutlak yang mesti disegerakan, karena butuh komitmen bersama dan dukungan banyak pihak.
"Penegak hukum harus memberikan sanksi tegas kepada para pihak yang merambah atau pun melakukan pembalakan liar di kawasan hutan yang menjadi habitat gajah sumatera," ujar Ali.
Baca juga: Terungkap, Gajah Sumatera Ditembak dengan Senjata Laras Panjang
Temuan lapangan Konsorsium Bentang Alam Seblat, menurut Ali, bahwa beberapa praktik pembukaan kawasan hutan justru difasilitasi oleh aparat desa, oknum di pemangku kawasan dan warga yang memiliki modal.
"Jika ini dibiarkan berlarut, maka konflik antara gajah dan manusia akan semakin sering bermunculan. Pastinya, akan menimbulkan korban di kedua belah pihak," kata Ali.
Pemerintah dinilai harus segera menetapkan koridor penghubung gajah sumatera. Tindakan ini, menurut Ali, bisa membantu menyelamatkan para gajah yang sudah terfragmentasi habitatnya, sekaligus memperpanjang daur hidup satwa endemik Sumatera ini di Bengkulu.
"Tanpa koridor, habitat yang selama ini sudah menyempit akibat aktivitas manusia dan industri perkebunan atau pun pertambangan, akan semakin tergerus dan memicu kematian gajah di Bengkulu semakin cepat," kata Ali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.