Dalam menagih pinjaman, tak jarang Nyai Bagendit menggunakan orang suruhan yang kerap bertindak kasar.
Suatu hari Nyai Bagendit tengah asik menghitung uang dan emas yang didapatnya sambil bersantai di halaman.
Tak lama datang seorang pengemis tua bertongkat kayu dengan rupa yang lusuh dan kotor mendatanginya.
Si pengemis tua hendak meminta segelas air karena ia kehausan setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh.
Nyai Bagendit tidak peduli dan memarahi pengemis tua tersebut dengan bahasa yang sangat kasar.
Dengan cara yang tidak sopan, Nyai Bagendit lantas mengusir pengemis tua itu dari halaman rumahnya.
Si pengemis tua sedih dan kecewa dengan perlakuan yang diterima dan berkata bahwa ia akan memberi pelajaran akan sikap kasar Nyai Bagendit.
Nyai Bagendit hanya tertawa dan mengejek pengemis tua, lalu segera masuk ke dalam rumah.
Tanpa diduga, pengemis tua itu mengeluarkan kesaktiannya dengan menancapkan tongkat kayu di halaman rumah Nyai Bagendit.
Setelah tongkat kayu itu dicabut keluarlah limpahan air dari dalam tanah yang perlahan menimbulkan banjir.
Penduduk yang menyadari hal itu panik dan berlarian menyelamatkan diri, sementara pengemis tua menghilang entah ke mana.
Ketika air sudah mulai tinggi, Nyai Bagendit baru menyadari jika sekitar rumahnya sudah hampir tenggelam ditelan banjir.
Ia mengambil sekotak emas sambil berteriak meminta tolong, berharap ada warga yang mau menolongnya ke tempat yang aman.
Namun desa tempatnya tinggal sudah sepi penghuni dan tidak ada yang mendengar teriakannya.
Nyai Bagendit pun tenggelam bersama seluruh hartanya, sementara desa tempatnya tinggal berubah menjadi sebuah danau yang kini bernama Situ Bagendit.