KOMPAS.com - Tradisi jimpitan merupakan sebuah kegiatan dalam kelompok masyarakat untuk mengumpulkan uang atau beras secara rutin.
Nama tradisi ini berasal dari Bahasa jawa yaitu "jimpit" yang artinya mengambil sesuatu dengan ujung telunjuk dan ibu jari sehingga jumlah yang diambil sedikit.
Baca juga: Kisah Pemuda di Magetan Ubah Kampung Menjadi Warna-warni dengan Modal Jimpitan
Istilah jimpitan ditemukan di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, atau Yogyakarta semetara di Jawa Barat dikenal dengan sebutan beas perelek.
Melansir laman revolusimental.go.id, akar sejarah tradisi Jimpitan diperkirakan berkembang di antara masyarakat pedesaan sejak zaman penjajahan Belanda.
Baca juga: Jimpitan Covid-19, Cara Warga Bertahan secara Ekonomi di Era Pandemi
Kegiatan ini menjadi simbol solidaritas dan ketangguhan warga dalam menghadapi kesulitan ekonomi pada saat itu.
Pada zaman dahulu jimpitan dilakukan dengan mengumpulkan bahan makanan pokok untuk menjaga stok pangan.
Baca juga: Jelang Pergantian Tahun, Puan Serukan Gotong Royong Hadapi Pandemi
Seiring berjalannya waktu, di beberapa tempat beras kemudian diganti dengan uang yang lebih mudah untuk disimpan.
Sesuai asal katanya, jumlah uang atau beras yang diberikan ketika jimpitan tidaklah banyak, seperti satu gelas beras ataupun uang koin Rp 500.
Waktu pengambilan jimpitan ditentukan bersama sesuai kesepakatan lingkungan di level Rukun Tetangga (RT) dan dilakukan secara kontinyu.
Biasanya beras atau uang jimpitan akan dikumpulkan oleh petugas ronda pada malam hari.
Beras dan uang yang dikumpulkan akan dikelola sebagai tabungan sosial untuk kepentingan bersama.
Penggunaan dan pengelolaannya akan dimusyawarahkan, dan biasanya digunakan untuk kegiatan warga maupun pembangunan fasilitas desa.
Terkadang sebagai balas jasa kepada para peronda, sebagian uang atau beras yang dikumpulkan dibagikan kepada warga yang kurang mampu.
Nilai gotong royong dalam tradisi jimpitan dinilai masih relevan sampai saat ini sehingga dirasa perlu untuk terus dilestarikan.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pernah meminta kepada masyarakat untuk menghidupkan kembali tradisi jimpitan sebagai lumbung pangan di masa pandemi.
Dengan begitu, masyarakat bisa secara mandiri memenuhi kebutuhan ekonomi selama pandemi Covid-19 tanpa harus bergantung dengan bantuan pemerintah pusat.
"Mulai hidupkan lagi jimpitan, yang muslim zakat infak dan sedekahnya bisa dioptimalkan. Tanami lahan-lahan kosong dengan tanaman kebutuhan pokok sehari-hari. Kalau itu bisa dilakukan, maka daya tahan kita akan kuatkan lewat desa," kata Ganjar di Semarang, Kamis (2/4/2020).
Kearifan lokal ini dinilai bisa meningkatkan resiliensi dengan memanfaatkan kultur komunal dalam menghadapi pagebluk yang belum berakhir.
Sumber:
revolusimental.go.id
indonesia.go.id
kagama.id
regional.kompas.com