Pada Kabinet Sjahrir III, Syafruddin kembali ditunjuk menjadi Menteri Keuangan pada 2 Oktober 1946-27 Juni 1947.
Baca juga: 5 Pahlawan Nasional dari Purworejo, Ada WR Supratman hingga Jenderal Ahmad Yani
Sedangkan pada masa Kabinet Hatta I, Syafruddin Prawiranegara ditunjuk mnenjadi Menteri Kemakmuran.
Setelah Perjanjian Renville, pemerintah Indonesia bersiap terhadap kemungkinan agresi Belanda seperti yang dilakukan usai Perjanjian Linggarjati.
Maka Hatta dan Syafruddin memilih Sumatera sebagai lokasi untuk mempersiapkan suatu pemerintahan darurat jika agresi dilancarkan.
Hatta dan Syafurddin mulai memindahkan pejabat ke Bukittinggi untuk mempersiapkan bibit pemerintahan darurat Mei 1948.
Sekitar November 1948, Hatta dan Syafruddin berangkat ke Bukittinggi. Namun Hatta harus kembali ke Yogyakarta karena ada perundingan.
Pada pertengahan Desember 1948, Hatta mau kembali ke Bukittinggi, namun rencana itu batal karena Belanda sudah melancarkan Agresi Militer Belanda II.
Dalam agresi itu, semua pejabat penting pemerintah Indonesia termasuk Soekarno dan Hatta ditangkap dan diasingkan ke Bangka.
Syafruddin yang mendengar kabar tersebut langsung bergerak sesuai mandat yang diberikan yaitu membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Dalam struktur PDRI, Syafruddin menjabat sebagai Ketua, merangkap Menteri Pertahanan, Penerangan, dan Luar Negeri.
Syafruddin lebih memilih gelar “Ketua” karena merasa kurang yakin atas mandatnya untuk menggunakan gelar “Presiden”.
Adanya PDRI di bawah komando Syafruddin memungkinkan Indonesia memiliki pemerintahan terpusat yang menyatukan semua faksi perjuangan.
PDRI juga memberikan arahan terhadap para diplomat Indonesia di luar negeri, termasuk di PBB.
Baca juga: Sejarah Purworejo, Daerah Penghasil Batuan Andesit yang Banyak Lahirkan Pahlawan Nasional
Setelah Agresi Militer Belanda II berakhir, Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada Soekarno.
Memasuki tahun 1951, Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank dengan membeli sahamnya.