Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
SOROT POLITIK

Jerat Tikus Listrik di Sragen Makan Banyak Korban, Dedi Mulyadi Minta Kementan Cari Solusi

Kompas.com - 11/02/2022, 12:51 WIB
Dwi NH,
Mikhael Gewati

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Dedi Mulyadi meminta pemerintah terutama Kementerian Pertanian (Kementan) agar cepat tanggap mencari solusi untuk menanggulangi hama tikus pertanian di Kabupaten Sragen.

Seperti diketahui, banyak sawah di Sragen menggunakan jerat listrik untuk membasmi tikus. Bukannya efektif, jerat tersebut malah memakan korban jiwa manusia.

“Seluruh jaringan Kementan harus cepat tanggap dan turun kemudian mencari solusi terbaik dari hama tikus ini. Jangan sampai petani berinisiatif memasang jerat listrik yang akhirnya memakan korban jiwa sekitar 23 orang di Sragen,” kata pria yang akrab disapa Kang Dedi itu, seperti dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (10/2/2022).

Pernyataan tersebut ia sampaikan saat melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Desa Jambanan, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Sragen untuk meninjau kawasan pertanian dalam menangani hama tikus belum lama ini.

Baca juga: 4 Bahan Alam untuk Membuat Pestisida Pengusir Hama Tikus pada Padi

Kang Dedi mengatakan, pemerintah seharusnya hadir mendampingi para petani dalam mencari solusi saat hama tikus menyerang lahan mereka.

“Giliran panen pejabat pada datang. Giliran kena masalah tidak ada yang datang. Para petugas dan balai-balai harusnya cekatan kalau di sawah ada hama tikus maka harus cepat tanggap seperti penanganan Covid-19,” ujarnya.

Dedi menduga, maraknya hama tikus diakibatkan rantai ekosistem yang terputus seperti ular dan burung pemangsa yang sudah langka atau bahkan tidak ada.

Terlebih, para petani pun tidak secara masif melakukan perburuan agar ekosistem di sawah tetap terjaga.

Baca juga: Puluhan Hektar Lahan Pertanian di Gunungkidul Diserang Hama Tikus

Senada dengan Kang Dedi, salah satu petani di Desa Jambanan, Saman (80) mengatakan, kemungkinan besar hama tikus menyerang karena tidak ada lagi predator pemangsa di sawah.

“Tahun ini ada (tikus) tapi tinggal sedikit lagi. Sekarang kurang lebih dua minggu lagi panen. Tapi ya itu harga jual gabahnya jatuh, beli pupuknya mahal,” ucapnya.

Oleh karena itu, Saman berharap, harga pupuk bisa turun dan tidak susah didapatkan. Utamanya sewaktu panen, harga jual gabah tidak jatuh.

Dalam kesempatan itu, ia menceritakan kejadian jerat listrik yang memakan korban jiwa di desanya.

Baca juga: Kisah Para Petani di Ngawi Jadi Penembak Hama Tikus, 1 Orang Bisa Dapat 100 Ekor

Awalnya, kata Saman, korban tersebut hendak ke pasar, tetapi ditemukan tewas di sawah.

Sawah itu punya adik saya dipasang kawat diisi listrik supaya tikus masuk kena setrum mati. Tapi katanya, ini orang (korban) kurang normal jadi mau jual ayam ke pasar harusnya lewat jalan raya malah lewat sawah,” ucapnya.

Untuk diketahui, Saman adalah seorang pensiunan guru yang masih aktif ke sawah dengan menggunakan sepeda.

Meski sudah lanjut usia, Saman masih getol rajin ke sawah. Sebelumnya ia kerap menggunakan sepeda motor.

Namun seiring bertambahnya usia, ia beralih ke sepeda. Alasannya takut dan supaya badan tetap bugar dengan mengayuh sepeda setiap hari.

Baca juga: Tingkatkan Kesejahteraan Petani Tabanan, Kementan Gulirkan Program Irigasi

Saat ini, Saman memiliki dua hektar (ha) sawah yang dibeli saat masih muda. Ia memiliki sawah dari hasil mengumpulkan uang dari istrinya berdagang. Sementara itu, gajinya sebagai guru digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com