KOMPAS.com - "Kami anak Kosarek, sudah menerima injil Yesus Kristus, dan firman Tuhan sudah dinyatakan di Tanah Kosarek. Kami sudah menjadi orang percaya, tetapi juga, kami ingin belajar dan sekolah yang tinggi."
Puisi itu dibacakan oleh Yanes dan Yuman, dua anak asal Kampung Kosarek, Kabupaten Yahukimo, Papua dalam sebuah perayaan Natal pada Desember 2021 di hadapan puluhan warga yang menyaksikan.
Puisi berjudul "Doaku, Anak Kosarek" itu mereka ciptakan sendiri setelah belajar mengenal puisi dalam kelas Bahasa Indonesia.
Yanes dan Yuman adalah murid yang duduk di bangku setara kelas 2 SD di Rumah Belajar Kosarek, sekolah alternatif yang didirikan oleh sepasang suami istri, Zakharia Primaditya (36) alias Adit dan Putri Kitnas Inesia (36).
Baca juga: Konser Musik Virtual Natal, Kumpulkan Rp 300 Juta untuk Rumah Baca di Sentani Papua
Selama tiga tahun terakhir, Rumah Belajar Kosarek menjadi satu-satunya tempat bagi lebih dari 60 anak di kampung itu untuk menempuh pendidikan.
Yanes dan Yuman adalah dua di antara murid-murid pertama yang dididik oleh Adit dan Putri.
Putri masih ingat betul bagaimana Yanes dan Yuman saat pertama kali datang untuk belajar. Mereka tidak fasih berbahasa Indonesia, tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung.
"Walaupun usia mereka sudah belasan tahun, tapi karena tidak pernah sekolah kami kasih materi kelas 2 SD untuk mereka," kata Putri kepada BBC News Indonesia.
Baca juga: Peduli Literasi, Belasan Pemuda Dirikan Rumah Baca di Lereng Gunung Wilis
Minimnya infrastruktur membuat kampung itu terpencil dan sulit dijangkau. Sekolah formal sudah belasan tahun tidak beroperasi, sehingga mayoritas anak-anak tidak tersentuh pendidikan.
Situasi itu yang membawa Adit dan Putri datang ke Kosarek, meninggalkan karir dan kehidupan mereka sebelumnya untuk menggerakkan kembali pendidikan di kampung itu.
Keduanya adalah lulusan universitas ternama di Pulau Jawa. Putri bahkan telah menempuh pendidikan magister di Austria.
Baca juga: Cerita Guru SLB Mendirikan Rumah Baca Cengka Ciko di Pedalaman Manggarai Timur
Dengan latar belakang itu, keduanya bisa saja memilih berkarir di kota-kota besar seperti yang dilakukan mayoritas pemuda usia produktif di Indonesia.
"Kami punya pilihan lain, bisa kerja di Jakarta dengan gaji yang mumpuni dan karir yang lebih baik," kata Adit, yang sebelumnya pernah menjadi kepala sekolah di sekolah Kristen di wilayah Bokondini, Papua.
"[Keputusan ini] adalah panggilan kami. Dari dulu panggilan kami memang untuk kemanusiaan, untuk orang-orang yang termarjinalkan," lanjut dia.
Adit merasakan panggilan yang begitu kuat setelah pada 2015 dia bepergian ke Yahukimo dan melihat banyak anak di sana belum terjangkau pendidikan.
Baca juga: Kisah Rumah Baca Bintang, Pelopor Literasi di Desa Terpencil dengan Kondisi Memprihatinkan
Hal itu membuatnya gelisah. Bagi Adit, kegelisahan itu adalah panggilan spiritual dari Tuhan untuk menjangkau anak-anak tersebut.
Momen itu lah yang membuat Adit bersama Putri bertekad menjalankan misi sebagai pendidik.
"Banyak anak mau didampingi tapi orang-orang belum banyak yang terpanggil untuk datang. Kami ingin memberikan hidup untuk anak-anak ini sehingga mereka bisa bertumbuh seperti anak-anak di daerah lain yang lebih beruntung," ujar Putri.