Setelah Revolusi Rusia, pada Oktober 1917, ia mulai tertarik untuk mempelajari tentang Sosialisme dan Komunisme.
Ia pun semakin memperdalam ilmunya tentang kedua hal tersebut.
Tan mulai sering membaca buku-buku, karya Karl Max, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin yang banyak membahas tentang Sosialis dan Komunisme.
Sejak itulah, Tan mulai membenci budaya Belanda dan justru terkesima dengan masyarakat Amerika dan Jerman.
Tahun 1919 setelah Perang Dunia I usai, Tan Malaka pulang ke Indonesia untuk menjadi guru anak-anak pada kuli kontrak di perkebunan tembakau di Deli (Sumatera Utara).
Ia mendapatkan gaji setara dengan guru Belanda. Rekan-rekan Belandanya tidak menyukai dan memandang rendah Tan Malaka.
Tan Malaka menjadi orang yang penuh semangat mendalami politik dan mengaplikasikan ilmu dan pengalamannya yang diperoleh di negeri Belanda.
Pemikirannya semakin radikal dengan menggunakan ideologi kiri. Aksi pertamanya adalah keterlibatan terhadap pemogokan buruh di Sumatera.
Tahun 1921, Tan daingkat menjadi Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI).
Akibat aktivitas politiknya itu, setahun kemudian pemerintah Hindia Belanda mengusirnya dari Indonesia.
Pada 1922, Tan Malaka sempat mewakili Indonesia dalam Konggres Keempat Komintem (Komunis Internasional). Di sana,
Ia ditunjuk sebagai agen komitmen untuk Asia Tenggara dan Australia.
Lalu pada 1926, Tan Malaka menentang pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), ia disalahkan pendukungnya atas kegagalan pemberontakan.
Tahun berikutnya, ia mengorganisir sebuah kelompok di Bangkok yang disebut sebagai Partai Republik Indonesia.
Tujuannya mengembangkan kader bawah tanah yang akan bekerja di Indonesia.