Walau begitu, lokasi ini dulu kerap digunakan sebagai tempat wisata yang populer terutama di antara para pendaki dan pemerhati gunung api.
Namun, sejak tahun 2011 wisatawan tak lagi bisa mengunjungi area puncak dikarenakan adanya peningkatan aktivitas Gunung Anak Krakatau.
Gunung Anak Krakatau menarik bagi para peneliti karena kemunculan gunung berapi dari dalam laut menjadi fenomena sangat langka di dunia.
Hal ini membuat pembatasan pengunjung dibatasi untuk empat tujuan yaitu penelitian, pendidikan, pengembangan pengetahuan, dan penunjang budidaya.
Hingga saat ini aktivitas Gunung Anak Krakatau masih diamati dan dipelajari untuk mengetahui berbagai potensi dan arahan mitigasi termasuk penentuan zona bahaya.
Aktivitas Gunung Anak Krakatau yang telah beberapa kali mengalami erupsi dihubung-hubungkan dengan kabar gempa Banten, salah satunya gempa M5,5 pada Jumat,4 Februari 2022 pukul 17.10 WIB.
Dengan rentang waktu yang cukup dekat, banyak masyarakat mengira bahwa keduanya saling terkait.
Namun, Koordinator Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono menyampaikan bahwa gempa selatan Banten ini murni gempa tektonik yang tidak berhubungan dengan aktivitas Gunung Anak Krakatau.
Gempa tektonik tersebut merupakan jenis gempa dangkal sebagai akibat adanya deformasi batuan pada kerak samudra Lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah Banten dan bukan dari aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau.
Sejarah letusan Gunung Krakatau tercatat pernah memicu tsunami Banten tahun 2018.
Pada tragedi tersebut, tsunami menelan 437 korban tewas, 10 korban hilang, dan 31.943 korban luka-luka.
Dikutip dari Kompas.com, Minggu (23/12/2018), Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa tsunami terjadi setelah adanya erupsi Gunung Anak Krakatau pada Jumat (21/12/2018) pada pukul 13.51 WIB.
Pada Sabtu (22/12/2018) dikeluarkan peringatan dini akan adanya potensi gelombang tinggi pada pukul 07.00 WIB, kemudian pada pukul 21.03 WIB, tide gauge (alat pendeteksi tsunami) BMKG menunjukkan adanya kenaikan permukaan air di pantai sekitar Selat Sunda.
Berdasarkan hasil pengamatan alat pendeteksi tsunami di Serang di Pantai Jambu, Desa Bulakan, tercatat pukul 21.27 WIB ketinggian gelombang mencapai 0,9 meter, namun gelombang mencapai lebih dari 2 meter saat mencapai daratan.
Dilansir dari Tribunnews.com, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB saat itu, Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan, penyebab tsunami yang melanda pantai di kawasan Selat Sunda kemungkinan berasal dari longsor bawah laut pengaruh erupsi Gunung Anak Krakatau.
Bersamaan dengan itu terjadi gelombang pasang akibat bulan purnama sehingga sempat sulit dicari penyebab gelombang tinggi tersebut.
Namun, kemudian BMKG merilis bahwa tsunami ini diduga akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau karena tidak adanya rekaman gempa tektonik pada waktu sekitar kejadian.
Sumber:
twitter.com, kompas.com, tribunnews.com , lampungprov.go.id , dan vsi.esdm.go.id