NUNUKAN, KOMPAS.com – Sekitar 8 hektar tanaman bakau diduga dibabat habis seorang oknum pengusaha di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Lahan tersebut kemudian ditanami kelapa pandan untuk kebutuhan bisnis. Namun tidak pernah terdengar adanya penindakan atau respons dari pemerintah daerah, ataupun instansi keamanan, sebagai tanggapan atas kerusakan lingkungan yang terjadi.
"Kegiatan pembabatan mangrove itu terjadi mulai 2019. Saat ini saya temukan lebih kurang delapan hektar sudah menjadi lahan kelapa pandan," ujar Sekretaris LSM Pancasila Jiwaku (Panjiku), Haris Arlek menyesalkan, Rabu (2/2/2022).
Baca juga: Jadi Showcase Mangrove G20, Kawasan Tahura Bali Kelar September 2022
Dari penelusuran Haris, oknum pengusaha dimaksud mengeklaim kepemilikan di kawasan mangrove yang ada di RT 08, Desa Binusan.
Atas nama pribadi, oknum pengusaha tersebut mencoba mengubah lahan hutan bakau menjadi lahan komersil.
Menurutnya, pengakuan itu adalah sebuah kejanggalan. Karena kawasan pesisir pantai tidak ada izin kepemilikan, apalagi di sana tumbuh tanaman mangrove demikian lebatnya.
"Ini perusakan lingkungan. Sudah saya coba laporkan secara lisan ke DLH Nunukan, tapi tidak pernah ada respons,’’kata Haris.
Haris mengaku miris atas peristiwa ini, jika dibandingkan dengan program Presiden RI Joko Widodo yang ingin menjadikan Kaltara sebagai wilayah mangrove terbesar di dunia, dengan memprogramkan menanam 600.000 batang mangrove, kondisi yang terjadi di Nunukan sangat kontras.
Indikasi pembiaran oleh stake holder di Nunukan tentu harus disorot tajam. Terlebih lagi, kasus penebangan magrove berimplikasi pada hukum pidana.
Baca juga: Karakteristik Hutan Mangrove yang Harus Kamu Ketahui
Haris menegaskan, penebangan mangrove memiliki konsekuensi berat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Di antaranya diatur larangan penebangan pohon di wilayah 130 kali jarak pasang laut terendah dan pasang laut tertinggi.
"Selain itu larangan pembabatan pohon atau mangrove di pinggir laut tertuang dalam pasal 50 Undang-Undang Kehutanan, masalah pidananya ada pada pasal 78 dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar," tegasnya.
Masih kata Haris, indikasi pembiaran ini seharusnya tidak terjadi. Meski para stake holder di Nunukan mengacu pada nihilnya kewenangan pengawasan dan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) mereka karena sudah diambil alih provinsi, setidaknya ada koordinasi dan pemetaan sebagai bahan rujukan dan laporan.
"Kita yang merasakan dampaknya. Jangan main main dengan perusakan mangrove, itu buka sepele. Kalau toh tidak memiliki kewenangan lagi, mengingatkan dan meminta provinsi turun kan bisa? Gak perlu alasan kewenangan sementara kerusakan di depan mata demikian massif tanpa penindakan," kata dia geram.
Baca juga: Fungsi Ekologis Hutan Mangrove dan Pentingnya Rehabilitasi Kawasan Ini
Kepala UPT KPH Nunukan, Roy Leonard juga mengamini terjadinya kerusakan mangrove di wilayah hutan bakau Desa Binusan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.