Begitu aparat berlalu dan mereka sampai di perairan perbatasan RI–Malaysia, mereka langsung menyimpan kayu kayu nibung yang ternyata pesanan warga Malaysia tersebut di pinggiran sungai.
Mereka meninggalkan kayu yang telah diikat sesuai jumlah pesanan begitu saja, setelah memberi tahukan koordinat lokasi penyimpanan.
Para penjual kayu nibung menebang pohon di wilayah Sebaung dan dijual dengan harga sekitar 15.000 ringgit Malaysia per pasang, atau sekitar Rp 52.500.000 dalam kurs Rp 3.500 per RM 1.
Harga ini jauh lebih tinggi dibanding pasaran lokal yang biasanya hanya dibanderol Rp 21 juta atau RM 6.000.
Satuan jumlah kayu nibung dihitung per pasang, sepasangnya ada 100 batang pohon.
Jumlah tersebut adalah batang yang diperlukan untuk membangun 1 pondok bagan.
Sejumlah anggota DPRD Nunukan juga sudah menyuarakan agar pengiriman ilegal kayu nibung ke Malaysia disikapi serius.
Wakil Ketua DPRD Nunukan Burhanuddin mengatakan, pemerintah dan aparat keamanan di perbatasan RI–Malaysia wajib memandang dugaan penyelundupan ini sebagai perkara penting karena berpotensi ancaman nelayan lokal kehilangan sumber mata pencaharian dan anjloknya ekonomi di perbatasan.
"Kami harus memahami nibung adalah salah satu Sumber Daya Alam (SDA) yang diperbaharui. Artinya, ketika kami ambil terus, akan ada kelangkaan, itu catatan penting," ujar dia.
Burhan mengatakan, semua menginginkan keberadaan SDA seperti kayu nibung ini, dimanfaatkan dan digunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran masyarakat.
"Yang jadi permasalahan, adalah ketika kemudian nibung dibawa keluar secara ilegal, memang butuh ada tindakan tegas dari pemerintah, kemudian memblok semua nibung yang mau keluar ke Malaysia," ujar dia.
Burhan juga mengaku sudah turun ke kalangan nelayan bagan di Sebatik. Mereka mengeluhkan saat ini keberadaan kayu nibung cukup sulit didapat.
Kalau biasanya mereka bisa menebang yang di pinggiran sungai, kini mereka harus menuju lokasi sangat jauh untuk mendapatkan kayu nibung.