KOMPAS.com - Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia mengenal adanya tokoh tiga serangkai yang dikenal luas kiprahnya di masa pergerakan nasional.
Tiga serangkai itu adalah Cipto Mangunkusumo, Ernest Douwes Dekker, dan Ki Hajar Dewantara.
Ketiga tokoh ini dikenal gigih menyebarluaskan ide tentang pemerintahan sendiri. Mereka juga sangat kritis terhadap pemerintahan Hindia Belanda yang zalim.
Cipto Mangunkusumo adalah seorang dokter yang memilih jalur perjuangan melalui kesehatan dan juga politik.
Baca juga: Cipto Mangunkusumo: Pendidikan, Peran, Perjuangan, dan Akhir Hidupnya
Dia berperan penting dalam menangani wabah pes yang melanda Malang, Jawa Timur pada tahun 1910.
Selain itu, Cipto Mangunkusumo juga terlibat aktif dalam sejumlah organisasi perjuangan, seperti Budi Utomo, Indishce Partij, hingga Komite Bumi Putera.
Cipto Mangunkusumo lahir di Desa Pecangakan, Jepara, Jawa Tengah, pada tanggal 4 Maret 1886.
Cipto lahir dari keluarga priyayi rendahan. Ayahnya bernama Mangunkusumo yang masih memiliki darah keturanan Kesultanan Yogyakarta. Sementara ibunya keturunan tuan tanah di Mayong, Jepara.
Mangunkusumo, ayah Cipto merupakan seorang guru. Karir pendidikannya dimulai dari sekolah dasar di Ambarawa, lalu pindah ke Purwodadi, kemudian ke Semarang.
Di Semarang, Mangunkusumo menjadi kepala sekolah Hollands Inlandse School (HIS), yaitu sekolah Belanda untuk pribumi.
Baca juga: Profil Dewi Sartika dan Kiprahnya Melalui Sakola Kautamaan Istri
Meski berstatu sebagai priyayi rendahan, Mangunkusumo tetap bisa menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan tinggi, termasuk Cipto yang merupakan anak tertua.
Cipto menempuh pendidikan di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), yaitu sekolah pendidikan dokter pribumi di Batavia.
Selama bersekolah di STOVIA, Cipto menunjukkan kualitasnya sebagai pemuda yang berbakat, cerdas, dan kritis. Bahkan ia dijuluki sebagai “Een begaafd leerling” atau murid berbakat.
Di STOVIA, Cipto menunjukkan ketidakukaan terhadap aturan sekolah yang dinilainya sangat feodal. Salah satunya tampak pada aturan berpakaian murid-murid STOVIA.
Saat itu, murid-murid STOVIA yang berasal dari Jawa dan Sumatera yang bukan beragama Kristen harus memakai pakaian tradisional ketika di lingkungan sekolah.
Sementara pakaian bergaya Barat, hanya boleh dikenakan oleh orang-orang penting dalam administrasti kolonial, seperti pribumi yang menjadi bupati.
Cipto menilai, aturan berpakaian semacam ini bukti bahwa kolonial Belanda sangat arogan dan melestarikan feodalisme di Nusantara.
Untuk itu Cipto kemudian dikenal sebagai sosok yang sangat kritis terhadap segala bentuk feodalisme dan kolonialisme, seperti yang ditunjukkan Belanda.
Kritik dan kegundahan itu dituangkan Cipto melalui tulisan-tulisanya di harian De Locomotief. Akibatnya Cipto sering mendapat teguran dan peringatan dari Belanda.
Baca juga: Biografi Singkat Raden Saleh dan Makna Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro